Pendahuluan
Kehidupan
manusia dewasa ini diliputi oleh banyak sekali nestapa. Perkembangan ilmu dan
pencapaian tehnologi bukannya mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia,
tapi sebaliknya banyak menimbulkan kesulitan dan bencana, bahkan ancaman
kepunahan umat manusia. Ancaman itu muncul misalnya dari perlombaan
negara-negara maju dalam pengadaan puluhan ribu senjata nuklir. Menurut Capra,
sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir, timbunan senjata nuklir itu dapat
menghancurkan dunia beberapa kali. Ancaman kepunahan juga muncul dari kerusakan
udara dan air yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia beracun yang mengotori
keduanya.[1]
Para ilmuwan
banyak yang berpendapat bahwa sebab dari semua ini karena ilmu dan tehnologi
yang dicapai itu semata hanya bersandarkan kepada akal. Alasan ini dapat
difahami, sebab hari ini semua perkembangan ilmu dan pencapaian tehnologi
berasal dari Barat. Sementara Barat hari ini (modern) adalah sebuah peradaban
yang menjadikan akal manusia sebagai satu-satunya sandaran dalam mencari ilmu
dan kebenaran. Akal dijadikan sebagai sumber utama dan pertama dalam
pengembangan ilmu dan tehnologi.
Sebenarnya
menurut Tafsir, hal ini sudah diingatkan oleh para ilmuwan Barat sendiri,
mislanya oleh Nietzsche dan Capra. Tafsir menjelaskan lebih jauh: “Pada
tahun 1880-an Nietzsche telah menyatakan
bahwa budaya Barat telah berada di pinggir jurang kehancuran karena terlalu mendewakan
rasio dan tahun 1990-an Capra menyatakan bahwa budaya Barat telah hancur juga
karena terlalu mendewakan rasio.”[2]
Berbeda
dengan Barat, Islam tidak menempatkan akal sebagai sumber utama dan pertama
dalam pengembangan ilmu. Islam menempatkan akal sejajar dengan indera dan hati.
Dimana ketiganya harus dipergunakan di bawah bimbingan wahyu Ilahi.
Salah
seorang cendekiawan muslim kontemporer yang memiliki kecenderungan dalam
pembahasan ini adalah Mohammad Natsir. Di dalam tulisan-tulisannya, Natsir
banyak membahas tentang akal sebagai sumber pengembangan ilmu dalam Islam. Yang
menarik, ketika membahas tema ini, Natsir banyak sekali mengutip
pendapat-pendapat para ilmuwan dan filosof muslim dan tidak jarang ia mengutip
bahkan mengelaborasi dengan sangat mendalam pemikiran para ilmuwan dan filosof
Barat. Namun demikian, Natsir tetap kuat berpegang pada wahyu Ilahi, al Quran
dan as Sunnah. Inilah yang menjadi nilai lebih Natsir dalam pembahasan masalah
ini.
Karena itu,
sangat menarik jika kita berusaha mengelaborasi pemikiran Mohammad Natsir
tentang konsep akal sebagai sumber ilmu
dalam Islam ini.
Pembahasan
Untuk
memahami konsep akal sebagai sumber ilmu dalam Islam menurut pemikiran Mohammad
Natsir, akan dibahas tiga persoalan penting, yaitu: Pertama, bagaimana
pandangan Islam terhadap akal dan bagaimana posisi akal dalam ajaran Islam? Kedua,
bagaimana Islam mengatur penggunaan akal? Ketiga, apa saja lapangan
kajian akal itu dan lapangan mana yang tidak boleh dimasuki akal?.
Dengan
membahas pemikiran Mohammad Natsir dalam tiga persolan itu, diharapkan dapat
difahami dengan baik, bagaimana konsep akal sebagai sumber ilmu dalam pandangan
Islam menurut pemikiran Mohammad Natsir.
1. Pandangan
Islam Terhadap Akal
Menurut
Natsir, Islam adalah agama yang sangat menghargai akal. Ini terlihat dari
banyaknya ayat-ayat al Quran yang mendorong manusia untuk menggunakan akalnya.
Misalnya Natsir memberikan contoh dengan ayat 50 dari surat al An’am:
ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
“Kenapa kamu tidak berfikir?”
Menurut
Natsir pertanyaan dalam ayat di atas merupakan alat untuk menarik perhatian
manusia agar menggunakan akalnya, mendorong manusia supaya menjalankan akalnya.[3]
Lebih jauh
ayat al Quran mendorong akal manusia untuk memperhatikan fenomena yang terjadi
di alam sekitar. Misalnya memperhatikan tumbuh-tumbuhan yang hidup, api yang
menyala, hujan yang turun dari langit, binatang yang berguna bagi kehidupan
manusia, bumi yang terhampar dan fenomena-fenomena lainnya. Setelah itu al
Quran kemudian bertanya, siapakah yang menghidupkan dan menumbuahkan
tumbuh-tumbuhan itu? Apakah dan siapakah yang menyalakan api? Apakah dan
siapakah yang menurunkan hujan dari langit?
Semua
pertanyaan itu menurut Natsir menggiring manusia untuk sampai pada kesimpulan
akan kekuasaan Allah Swt. Ia menjelaskan:“Disuruh pikirkan dan disuruh
mengambil konklusi sendiri tentang kebenaran dan kekuasaan Tuhan, disuruh dan
diajar manusia supaya ‘melihat’ hikmah, serta qudrat dan iradah Khaliqnya ‘di
belakang’ semua makhluk yang dapat dilihatnya dengan mata kepala.”[4]
Misalnya
pertanyaan Allah Swt. dalam surat al Waqi’ah ayat 64:
ءَأَنتُمۡ
تَزۡرَعُونَهُۥٓ أَمۡ نَحۡنُ ٱلزَّٰرِعُونَ
“Kamukah yang menumbuhkannya atau kamikah
yang menumbuhkannya?”
Karenanya,
menurut Natsir, Nabi Muhammad Saw. meletakan akal pada tempat yang terhormat
dan menjadikan akal sebagai salah satu alat untuk mengetahui adanya Tuhan.[5]
Menurut
Natsir, selain memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya guna memikirkan
fenomena alam, al Quran juga memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya
guna memikirkan ayat-ayat al Qur`an itu sendiri. Tujuannya agar manusia
memahami maksud dan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al Qur`an
tersebut. Sebagaimana firman Allah Swt. berikut:
قَدۡ
فَصَّلۡنَا ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan
tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.” (al An’am:
97)
Dengan cara
ini al Qur`an, menurut Natsir, berhasil menarik perhatian orang-orang yang
berakal untuk mengetahui Tuhannya dengan pendekatan rasional. Sehingga manusia
yang sudah berhasil tertarik perhatiannya itu kemudian dapat menjalankan
akalnya sebagai satu nikmat yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia.[6]
Hasilnya
adalah munculnya ilmu-ilmu, baik yang terkait dengan al Qur`an maupun yang
terkait dengan alam. Sehingga menurut Natsir, perkembangan ilmu dan tehnologi
hari ini tidak dapat dilepaskan dari kontribusi ilmuwan-ilmuwan Islam di masa
lalu. Ia menjelaskan,
“Sangatlah
mudah membuktikan, bahwa dasar ilmu pengetahuan masa kini serta
kemajuan-kemajuan tehnologi di dunia barat ialah berkat adanya
kemajuan-kemajuan dan penemuan-penemuan kaum Muslimin. Yaitu semasa mereka itu
diberi karunia oleh Allah menjadi pembawa suluh ilmu dan pengetahuan. Banyak
dasar catatan dan banyak gagasan, seperti misalnya aljabar dan ilmu kimia, ilmu
kesehatan dan perdagangan, bahkan juga ilmu bumi dan penjelajahan angkasa.”[7]
Penghargaan
Islam terhadap akal, menurut Natsir, juga terlihat dari sikap Islam terhadap
orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya. Dalam beberapa ayat al Qur`an,
Allah Swt. dengan jelas mencela orang-orang semacam ini. Misalnya dalam firman
Allah Swt. berikut:
وَلَا
تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ
كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (al Isra:
36)
“Tegasnya,
Agama Islam melarang kita bertaklid buta kepada faham dan i’tikad yang tak
berdasar kepada wahyu Ilahi yang nyata, hanya sekedar menurut faham-faham lama (pikiran-pikiran
tradisional) yang turun temurun dengan tidak mengetahui dan memeriksa terlebih
dahulu, apakah faham itu berguna dan berfaedah dan suci, atau tidak.”[8]
Penghormatan
Islam kepada akal dan dorongan Islam kepada umatnya untuk menggunakan akal ini,
menurut Natsir, merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam yang menjadi
sumber kekuatan yang mendorong munculnya kebudayaan Islam. Dimana, saking
kuatnya kebudayaan yang muncul itu, kemudian mempengaruhi kebangkitan budaya di
Eropa setelahnya.[9]
Dengan
demikian, jelaslah bahwa dalam pemikiran Natsir, Islam begitu mengagungkan
akal. Bahkan Islam mendorong penganutnya untuk memaksimalkan fungsi akal guna
memikirkan ciptaan dan firman Allah Swt.
2. Akal
Harus Tunduk Kepada Wahyu
Dalam konsep
Mohammad Natsir, syarat utama penggunaan akal sebagai sumber ilmu dalam Islam
adalah akal harus selalu terpimpin dan terbimbing oleh wahyu Ilahi. Wahyu Ilahi
adalah pasti kebenarannya karena berasal dari Sang Maha Benar, Allah Swt.
Sehingga akal yang terbimbing oleh wahyu Ilahi akan selalu menghasilkan
kebaikan dan kebenaran sebagai hasil dari proses berfikirnya. Sebaliknya, jika
akal dibiarkan merdeka tanpa bimbingan wahyu Ilahi, maka dapat dipastikan akal
tersebut akan menghasilkan kesalahan, kejahatan dan kehancuran.
Kesimpulan
Mohammad Natsir di atas, berangkat dari keyakinan bahwa kemampuan akal memang
luar biasa. Namun demikian akal tetaplah memiliki keterbatasan. Tidak semua hal
yang ada di alam raya ini dapat difikirkan oleh akal. Kesimpulan ini, kata
Natsir, juga dianut oleh orang-orang yang selama ini dikenal sangat
mengagungkan akal. Ia memberikan contoh seorang tokoh Mu’tazilah bernama
Al-Jubbai yang begitu meyakini kemampuan akal. Namun demikian Al-Jubbai tetap
mengakui adanya keterbatasan akal. Natsir menjelaskan:
“Akan
tetapi seorang Mua’tazilah seperti Al-Jubbai yang menjadi pelopor dari akal
merdeka terpaksa mengakui waktu mendapatkan soalan dari muridnya Al-Asy’ari
bahwa banyaklah hal-hal yang tak mungkin dicampuri oleh akal merdeka; banyaklah
hal-hal yang kita sebagai manusia, terpaksa berkata: ‘Wallahu a’alam!’. Banyak
pula yang harus kita terima, ‘bila-kaifa’, tanpa tanya lagi bagaimananya”[10]
Sementara di
pentas sejarah Barat, kata Natsir, ada seorang filosof besar yang sangat
terkenal sebagai ahli akal bernama Immanuel Kant. Namun ia membantah pendapat
orang yang mengatakan bahwa semua dapat dikembalikan kepada akal, semua dapat
diputuskan oleh akal. Kant percaya ada hal-hal yang tidak dapat dikembalikan
dan diputuskan oleh akal.[11]
Karena itu
menurut Natsir, jika akal dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang berada di luar
kemampuannya, maka hasilnya akal akan terbentur dan kemudian hancur.
Begitu pula
dalam konteks berislam. Menurut Natsir jika akal dibebaskan berfikir tanpa panduan
wahyu Ilahi, maka akal akan menyesatkan manusia. Natsir memberikan contoh
bagaimana dalam sejarah Islam, banyak terdapat orang-orang yang menggunakan
akalnya tanpa menjadikan wahyu sebagai pemimpinnya, kemudian terjerumus dalam
kesesatan. Misalnya ia mencontohkan pemikiran tokoh-tokoh sufi yang terjebak
dalam faham pantheisme semisal Al-Hallajj. Karena menggunakan akalnya tanpa
bimbingan wahyu, Al-Hallajj sampai berani mengatakan “Ana al-haqq”
(Akulah Tuhan).[12]
Begitu pun
dalam masalah ibadah. Jika akal dibiarkan bebas tanpa bimbingan wahyu, maka
akan muncul bentuk-bentuk upacara baru yang dihukumi sebagai ibadah, sekalipun
tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. inilah yang dimaksud dengan bid’ah dan
khurafat. Natsir memberikan contoh seperti upacara azan di kubur, meminta
syafaat ke kubur dan lain-lainnya. Natsir berkesimpulan bahwa segala bentuk
khurafat, bid’ah dan takhayul adalah hasil dari akal yang digunakan tanpa
bimbingan wahyu.[13]
Karenanya Natsir
berkeyakinan, sesungguhnya tidak ada yang dinamakan akal merdeka dalam arti
bebas dari pengaruh luar. Akal yang bebas merdeka tanpa bimbingan wahyu Ilahi
sesungguhnya tidak sepenuhnya bebas. Akal bebas merdeka yang seperti itu, “Menurut
kemauan hawa nafsu yang bertopeng akal merdeka.”[14]
Sehingga wajar jika akal merdeka yang sesungguhnya dipengaruhi hawa nafsu itu
akan mengantarkan orang kepada kesalahan, kejahatan dan kehancuran karena
semata-mata mengikuti keinginan hawa nafsunya.
Karena itu,
para ilmuwan muslim yang terkenal karena pengagunggan mereka terhadap akal,
tetap saja tidak menyerahkan seluruh masalah kepada akal. Mereka tetap meyakini
ada bagian-bagian dalam kehidupan ini yang tidak boleh diserahkan kepada akal,
namun harus dikembalikan kepada wahyu Ilahi. Natsir mencontohkan beberapa orang
diantara mereka.
Ibnu Sina
misalnya, seorang filosof muslim yang sangat rasional sehingga banyak yang
menyebutnya sebagai seorang rasionalis. Ia begitu banyak mempelajari dan
mengambil ilmu dari peninggalan kebudayaan Yunani. Namun demikian Ibnu Sina tetap
memegang teguh aqidah dan aturan-aturan ibadah dalam Islam. Misalnya ia pernah
menjelaskan tentang seseorang yang enggan berwudhu untuk solat subuh karena
udara yang amat dingin. Alasan orang ini sangat rasional, namun Ibnu Sina
kemudian membantahnya, sebagaimana yang dikutip Natsir, dengan mengatakan:
“…baru
aku menyuruh engkau keluar kamar mengambil air wudhu saja, engkau sudah enggan
lantaran hari dingin. Dengarkanlah suara Muazzin yang nyaring dari atas menara
itu! Di sini engkau mendapat tahu: bagaimana perbedaan kekuatan akal manusia
dengan wahyu Ilahi. Dalam hari yang sedingin ini, si-Muazzin tak gentar pergi
ke luar dalam gelap gulita memanjat pula ke atas menara yang tinggi untuk
membangunkan kaum Muslimin yang akan menyembah Allah. Semuanya ini hanya
lantaran sepatah suruhan Rasulullah Saw.”[15]
Karena
pandangannya itulah, Natsir mendefinisikan bahwa orang yang menggunakan akalnya
dalam bimbingan wahyu sebagai orang pintar. Sementara orang yang menggunakan
akalnya tanpa bimbingan wahyu sebagai orang yang bodoh.[16]
Konsep ini
disimpulkan Natsir sebagai berikut:
“Akal
merdeka ibarat api yang mungkin lampu yang gemerlapan memimpin kita dari gelap
gulita ke terang benderang. Seringkali mungkin pula ia menyala berkobar-kobar
menyiar bakar rumah dan gedung,
menghanguskan barang yang ada. Maka agama datang, bukan semata-mata
memerdekakan akal. Agama datang membangunkan akal, membangkitkan akal,
menggemarkan orang memakai akal sebagai suatu nikmat Ilahi yang maha indah.
Agama datang mengalirkan akal menurut aluran yang lurus, jangan melantur ke
sana ke mari merampok pagar dan pematang-pematang.”[17]
Karena
itulah, Natsir menggunakan istilah “kemerdekaan berfikir” bukan “kebebasan atau
keterbukaan berfikir”. Menurut Anwar Harjono, ini menunjukan bahwa konsep kebebasan
dan keterbukaan berfikir menurut Natsir itu tidak berarti tanpa batas. Tetapi
sebaliknya, tetap ada batas-batas, namun batas-batas itu tidak boleh menjadi
tekanan apalagi penindasan.[18]
Pemikiran
Natsir ini menurut Taufik Abdullah merupakan cerminan dari sikapnya yang anti
terhadap sekularisasi pemikiran yang muncul akibat dari akal merdeka yang tanpa
batas itu.[19] Kesimpulan
Taufik sangat bisa diterima, karena Natsir memang dikenal sebagai tokoh Islam
yang sangat anti terhadap sekularisasi dan sekularisme. Sikap Natsir itu
misalnya dapat dilihat dalam tulisannya yang berjudul “Pilihan Kita, Satu
Dari Dua, Sekularisme atau Agama”, dimana di dalam tulisannya itu, dengan
tegas Natsir menolak sekularisme sebagai dasar Negara dan lebih memilih agama
(Islam) sebagai dasar negara[20].
Inilah
syarat penggunaan akal dalam Islam dalam pemikiran Natsir, akal harus
senantiasa berada dalam bimbingan wahyu Ilahi.
3. Pembagian
Lapangan Akal dan Agama
Menurut
Natsir, dalam kaitannya dengan pembagian lapangan antara akal dan agama, ada
tiga lapangan yang harus dibahas. Pertama, lapangan yang menjadi bagian
agama. Kedua, lapangan yang menjadi bagian agama dan akal secara
bersamaan. Ketiga, lapangan yang menjadi bagian akal.
Pembagian
tiga lapangan ini, disimpulkan Natsir dari hadits
Rasulullah
Saw. berikut:
اَنْتُمْ اَعْلَمُ بِاَمْرِ
دُنْيَاكُمْ مِنِّي وَاَنَا بِاَمْرِ اخِرَتِكُمْ مِنْكُمْ
“Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu dari padaku dan aku
lebih tahu urusan akhiratmu dari kamu” (HR. Muslim dari Anas bin Malik dan Aisyah)
a. Lapangan
Agama
Menurut
Natsir, di dalam ajaran Islam, ada perintah yang maknanya tidak dapat difahami
oleh akal. Biasanya perintah semacam ini tidak disebutkan dengan jelas maksud,
sebab dan tujuannya oleh Allah Swt. Namun Allah Swt. menetapkan dengan jelas
tata cara pelaksanaannya, baik melalui ayat-ayat al Qur`an maupun hadits
Rasulullah Saw.
Perintah
semacam ini, harus dikembalikan sepenuhnya kepada syari’at. Kita tidak boleh
mempertanyakan kenapa begini dan begitu. “Kita terima dengan bila-kaifa”,
tulis Natsir.[21]
Inilah
pejelasan Natsir tentang lapangan agama itu. Dimana dalam lapangan ini kita
tidak boleh menggunakan akal kita untuk mempertanyakannya. Akal hanya diberi
rangsangan untuk mencari tahu apa hikmah di balik perintah itu. Jika pun pada
akhirnya akal tidak mampu memahami hikmahnya, maka wajib bagi kita untuk tetap
mengimani perintah itu dan mengucapkan wallahu ‘alam.
b. Lapangan
Agama dan Akal
Ada
juga perintah agama yang maknanya dapat difahami oleh akal, dan ada penjelasan
mengenai ‘illatnya (sebab, maksud dan tujuannya). Namun Allah Swt. tidak
menjelaskan secara rinci tata cara pelaksanaannya. Misalnya perintah untuk
berbuat baik kepada kedua orangtua, perintah menutup aurat dan sebagainya.
Perintah
semacam ini, sekalipun masih menjadi bagian dari syari’at karena ada
perintahnya dari Allah Swt., namun tata cara pelaksanaannya diserahkan kepada
akal kita asalkan tata cara itu dapat mencapai yang dimaksud oleh perintah itu.
Bahkan tata cara itu bisa saja disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan
zaman yang ada.[22]
c. Lapangan
Akal
Menurut
Natsir, selain kedua jenis perintah di atas, ada begitu banyak urusan-urusan
dunia yang tidak diatur secara spesifik di dalam ajaran Islam. Urusan-urusan
itu bisa terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk urusan-urusan ini,
akal diberikan kebebasan guna mengaturnya. Bukan hanya dibebaskan, bahkan akal
manusia didorong untuk mengelaboorasi urusan-urusan dunia itu.
Hanya
satu syaratnya menurut Natsir, aturan-aturan yang dihasilkan oleh akal itu
tidak boleh melanggar larangan-larangan Allah Swt.[23]
Sebab memang dalam kaidah ushul fiqih disebutkan bahwa segala sesuatu dalam
urusan dunia itu adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukan larangan
terhadapnya.
Natsir
mengingatkan, jangan sampai kita salah memasangkan akal dengan lapangannya.
Sebab jika kita salah memasangkan maka akibatnya akan fatal. Jika orang enggan
menggunakan akalnya dalam lapangan akal, maka akan terjadi kejumudan dan
kemandekan ilmu.
Misalnya, ada
orang yang menyampaikan khutbah jumat di depan orang Indonesia yang tidak
mengerti bahasa Arab dengan menggunakan bahasa Arab. Alasannya mencontoh
Rasulullah Saw. Sebab beliau Saw. pun menyampaikan khutbah jumat menggunkaan
bahasa Arab. Padahal jelas, tujuan dari khutbah itu adalah memberikan pemahaman
kepada orang yang hadir mengenai ajaran-ajaran Islam. Mana mungkin orang yang
hadir akan faham jika bahasa yang digunakan oleh khatib adalah bahasa yang
tidak dimengerti oleh orang yang hadir itu.
Ini adalah
lapangan agama sekaligus akal. Perintahnya dari agama tapi tata caranya
diserahkan kepada akal. Jika akal tidak digunakan, maka yang terjadi adalah
kebodohan umat, karena umat tidak akan memiliki tambahan pemahaman tentang
agamanya, sebab khutbah jumat disampaikan dengan bahasa Arab, bahasa yang tidak
mereka mengerti.[24]
Begitupun
sebaliknya, jika akal dipasangkan dengan lapangan agama, maka yang akan timbul
adalah urusan-urusan baru dalam agama ini. Natsir mencontohkan mengenai jilatan
anjing pada bejana. Menurutnya, ini adalah lapangan agama murni, sebab Allah
Swt. memberikan perintah dan menjelaskan dengan rinci tata cara pelaksanaanya.
Dimana jika ada bejana yang dijilat anjing, maka cara mensucikannya adalah
dengan membasuhnya sebanyak tujuh kali yang salah satunya menggunakan tanah.
Jika akal
masuk dalam urusan ini, bisa jadi orang kemudian berkata bahwa lebih baik
bejana itu dibersihkan dengan sabun saja, tentu akan jauh lebih bersih dari
pada dibersihkan dengan tanah. Sehingga akhirnya karena akalnya orang
meninggalkan ajaran Islam dan menggantinya dengan sesuatu yang baru.[25]
Konsep
hubungan antara akal dan agama dalam Islam ini jelas berbeda dengan konsep
hubungan akal dan agama dalam pandangan Barat. Dimana dalam pandangan Barat
hubungan keduanya dibangun di atas epistemologi sekular. Sehingga epistemologi
Barat telah melenyapkan wahyu sebagai sumber ilmu. Ilmu menjadi musuh agama.
Akibatnya, ilmu menjadi problematis dan spiritualitas manusia menjadi terkikis.[26]
Demikianlah
pemikiran Natsir tentang pembagian medan akal dan agama. Orang yang membagi dan
menggunakannya dengan tepat akan menghasilkan pemikiran yang benar. Sebaliknya,
jika salah memasangkan antara akal dengan medan yang bukan bagiannya, atau
sebaliknya salah memasangkan antara agama dengan medan yang bukan bagiannya,
maka yang dihasilkan adalah pikiran-pikiran yang keliru dan bahkan sesat.
Penutup
Dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Mohammad Natsir,
Islam sangat menghargai akal dan mendorong umatnya untuk mempergunakan akal
semaksimal mungkin. Orang yang menggunakan akalnya diberikan posisi terhormat,
sementara orang yang tidak mau menggunakan akalnya banyak dicela, baik oleh
ayat-ayat al Qur`an maupun hadits Rasulullah Saw. Dengan demikian dalam konsep
Islam, akal diakui sebagai salah satu sumber untuk menghasilkan ilmu.
Hanya saja,
Natsir mengingatkan bahwa penggunaan akal itu harus senantiasa berada dibawah
bimbingan wahyu Ilahi. Sebab Natsir meyakini bahwa jika akal dibebaskan dari
bimbingan wahyu Ilahi, maka akal akan bekerja dengan dorongan hawa nafsu.
Sehingga yang akan dihasilkan dari akal semacam ini hanyalah kerusakan dan
kejahatan yang akan menyampaikan pada kehancuran. Dengan demikian, yang benar adalah,
posisi akal sebagai sumber ilmu, berada sejajar dengan indera dan hati, dibawah
bimbingan wahyu Ilahi.
Kemudian
Natsir mengingatkan bahwa kemampuan akal yang luar biasa itu tetap saja
memiliki keterbatasan. Maka agar tidak melampaui batasan itu, diperlukan
pemahaman yang baik tentang lapangan yang boleh dimasuki akal dan lapangan yang
tidak boleh dimasuki akal. Ini penting sebab jika akal dipaksakan masuk ke
dalam lapangan yang bukan wilayahnya, maka akan terjadi benturan yang hebat
antara akal dan ajaran Islam. Sebab wilayah yang terlarang bagi akal itu adalah
wilayah-wilayah agama dan keimanan. Misalnya wilayah alam ghaib, wilayah takdir
dan wilayah ibadah.
Demikianlah
pembahasan mengenai konsep akal sebagai sumber ilmu dalam Islam menurut
pemikiran Mohammad Natsir. Wallahu ‘alam.
DAFTAR
PUSTAKA
HarjonoAnwar,dkk., Pemikiran
dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, cet. 2.
Husaini,
Adian, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: GIP, 2013.
Natsir, Mohammad, Capita
Selecta 1, Jakarta: Yayasan Bulan Bintang dan Media Da’wah, 2008, cet. IV.
__________________, Capita
Selecta 2, Jakarta: PT. Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008, cet. II.
__________________, Capita
Selecta 3, Jakarta: PT. Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008.
__________________, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Girimukti Perkasa, 1988.
Kamaluddin,
Laode M. (editor), On Islamic Civilization, Semarang: Unissula Press,
2010.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009, cet. ke 17.
Panitia Peringatan, Muhammad
Natsir 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan Dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka
Antara, 1978.
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2009, cetakan ke 17, hal. 261.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, hal. 257.
[3] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, Jakarta: Girimukti Perkasa, 1988, hal. 229.
[4] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 230.
[5]Mohammad Natsir, Capita Selecta 1, hal.
279.
[6] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 231.
[7] Panitia Peringatan, Muhammad Natsir 70
Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan Dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka Antara,
1978, hal. 255. Penjelasan lebih dalam tentang keterkaitan antara perkembangan
Ilmu di Barat dan pengaruh Peradaban Islam terhadapnya, dapat dibaca dalam
tulisan Syamsuddin Arif berjudul ‘Transmigrasi Ilmu: Dari Dunia Islam ke
Eropa?’ dalam Laode M. Kamaluddin (editor), On
Islamic Civilization, Semarang: Unissula Press, 2010, hal. 227-240.
[8] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 232.
[9]Mohammad Natsir, Capita Selecta 1,
Jakarta: Yayasan Bulan Bintang dan Media Da’wah, 2008, cet. IV, hal. 4-5.
[10] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 243-244.
[11] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 244.
[12]Mohammad Natsir, Capita Selecta 1, hal.
283.
[13] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 236-237.
[14] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 248.
[15] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 245.
[16] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 238.
[17]Anwar Harjono dkk., Pemikiran dan Perjuangan
Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, cet. 2, Hal. 42.
[18] Anwar Harjono dkk., Pemikiran dan
Perjuangan Mohammad Natsir, hal. 43.
[20]MohammadNatsir, Capita Selecta 3,
Jakarta: PT. Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008, hal. 99-109.
[21] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 249.
[22] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif
Sejarah, hal. 250.
[23] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 250.
[24] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 251-252.
[25] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam
Perspektif Sejarah, hal. 254-255.
[26]Laode M. Kamaluddin (editor), On Islamic
Civilization, Semarang: Unissula Press, 2010, Hal. 406.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar