Minggu, 26 Januari 2020

KONSEP AKAL SEBAGAI SUMBER ILMU DALAM ISLAM (TELAAH TERHADAP PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR)


Pendahuluan
Kehidupan manusia dewasa ini diliputi oleh banyak sekali nestapa. Perkembangan ilmu dan pencapaian tehnologi bukannya mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia, tapi sebaliknya banyak menimbulkan kesulitan dan bencana, bahkan ancaman kepunahan umat manusia. Ancaman itu muncul misalnya dari perlombaan negara-negara maju dalam pengadaan puluhan ribu senjata nuklir. Menurut Capra, sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir, timbunan senjata nuklir itu dapat menghancurkan dunia beberapa kali. Ancaman kepunahan juga muncul dari kerusakan udara dan air yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia beracun yang mengotori keduanya.[1]
Para ilmuwan banyak yang berpendapat bahwa sebab dari semua ini karena ilmu dan tehnologi yang dicapai itu semata hanya bersandarkan kepada akal. Alasan ini dapat difahami, sebab hari ini semua perkembangan ilmu dan pencapaian tehnologi berasal dari Barat. Sementara Barat hari ini (modern) adalah sebuah peradaban yang menjadikan akal manusia sebagai satu-satunya sandaran dalam mencari ilmu dan kebenaran. Akal dijadikan sebagai sumber utama dan pertama dalam pengembangan ilmu dan tehnologi.


Sebenarnya menurut Tafsir, hal ini sudah diingatkan oleh para ilmuwan Barat sendiri, mislanya oleh Nietzsche dan Capra. Tafsir menjelaskan lebih jauh: “Pada tahun 1880-an Nietzsche  telah menyatakan bahwa budaya Barat telah berada di pinggir jurang kehancuran karena terlalu mendewakan rasio dan tahun 1990-an Capra menyatakan bahwa budaya Barat telah hancur juga karena terlalu mendewakan rasio.”[2]
Berbeda dengan Barat, Islam tidak menempatkan akal sebagai sumber utama dan pertama dalam pengembangan ilmu. Islam menempatkan akal sejajar dengan indera dan hati. Dimana ketiganya harus dipergunakan di bawah bimbingan wahyu Ilahi.
Salah seorang cendekiawan muslim kontemporer yang memiliki kecenderungan dalam pembahasan ini adalah Mohammad Natsir. Di dalam tulisan-tulisannya, Natsir banyak membahas tentang akal sebagai sumber pengembangan ilmu dalam Islam. Yang menarik, ketika membahas tema ini, Natsir banyak sekali mengutip pendapat-pendapat para ilmuwan dan filosof muslim dan tidak jarang ia mengutip bahkan mengelaborasi dengan sangat mendalam pemikiran para ilmuwan dan filosof Barat. Namun demikian, Natsir tetap kuat berpegang pada wahyu Ilahi, al Quran dan as Sunnah. Inilah yang menjadi nilai lebih Natsir dalam pembahasan masalah ini.
Karena itu, sangat menarik jika kita berusaha mengelaborasi pemikiran Mohammad Natsir tentang konsep  akal sebagai sumber ilmu dalam Islam ini.

Pembahasan
Untuk memahami konsep akal sebagai sumber ilmu dalam Islam menurut pemikiran Mohammad Natsir, akan dibahas tiga persoalan penting, yaitu: Pertama, bagaimana pandangan Islam terhadap akal dan bagaimana posisi akal dalam ajaran Islam? Kedua, bagaimana Islam mengatur penggunaan akal? Ketiga, apa saja lapangan kajian akal itu dan lapangan mana yang tidak boleh dimasuki akal?.
Dengan membahas pemikiran Mohammad Natsir dalam tiga persolan itu, diharapkan dapat difahami dengan baik, bagaimana konsep akal sebagai sumber ilmu dalam pandangan Islam menurut pemikiran Mohammad Natsir.
1.     Pandangan Islam Terhadap Akal
Menurut Natsir, Islam adalah agama yang sangat menghargai akal. Ini terlihat dari banyaknya ayat-ayat al Quran yang mendorong manusia untuk menggunakan akalnya. Misalnya Natsir memberikan contoh dengan ayat 50 dari surat al An’am:
ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ 
 “Kenapa kamu tidak berfikir?”
Menurut Natsir pertanyaan dalam ayat di atas merupakan alat untuk menarik perhatian manusia agar menggunakan akalnya, mendorong manusia supaya menjalankan akalnya.[3]
Lebih jauh ayat al Quran mendorong akal manusia untuk memperhatikan fenomena yang terjadi di alam sekitar. Misalnya memperhatikan tumbuh-tumbuhan yang hidup, api yang menyala, hujan yang turun dari langit, binatang yang berguna bagi kehidupan manusia, bumi yang terhampar dan fenomena-fenomena lainnya. Setelah itu al Quran kemudian bertanya, siapakah yang menghidupkan dan menumbuahkan tumbuh-tumbuhan itu? Apakah dan siapakah yang menyalakan api? Apakah dan siapakah yang menurunkan hujan dari langit?
Semua pertanyaan itu menurut Natsir menggiring manusia untuk sampai pada kesimpulan akan kekuasaan Allah Swt. Ia menjelaskan:“Disuruh pikirkan dan disuruh mengambil konklusi sendiri tentang kebenaran dan kekuasaan Tuhan, disuruh dan diajar manusia supaya ‘melihat’ hikmah, serta qudrat dan iradah Khaliqnya ‘di belakang’ semua makhluk yang dapat dilihatnya dengan mata kepala.”[4]
Misalnya pertanyaan Allah Swt. dalam surat al Waqi’ah ayat 64:
ءَأَنتُمۡ تَزۡرَعُونَهُۥٓ أَمۡ نَحۡنُ ٱلزَّٰرِعُونَ 
 “Kamukah yang menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya?”
Karenanya, menurut Natsir, Nabi Muhammad Saw. meletakan akal pada tempat yang terhormat dan menjadikan akal sebagai salah satu alat untuk mengetahui adanya Tuhan.[5]
Menurut Natsir, selain memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya guna memikirkan fenomena alam, al Quran juga memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya guna memikirkan ayat-ayat al Qur`an itu sendiri. Tujuannya agar manusia memahami maksud dan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al Qur`an tersebut. Sebagaimana firman Allah Swt. berikut:
قَدۡ فَصَّلۡنَا ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ 
 “Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.” (al An’am: 97)
Dengan cara ini al Qur`an, menurut Natsir, berhasil menarik perhatian orang-orang yang berakal untuk mengetahui Tuhannya dengan pendekatan rasional. Sehingga manusia yang sudah berhasil tertarik perhatiannya itu kemudian dapat menjalankan akalnya sebagai satu nikmat yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia.[6]
Hasilnya adalah munculnya ilmu-ilmu, baik yang terkait dengan al Qur`an maupun yang terkait dengan alam. Sehingga menurut Natsir, perkembangan ilmu dan tehnologi hari ini tidak dapat dilepaskan dari kontribusi ilmuwan-ilmuwan Islam di masa lalu. Ia menjelaskan,
“Sangatlah mudah membuktikan, bahwa dasar ilmu pengetahuan masa kini serta kemajuan-kemajuan tehnologi di dunia barat ialah berkat adanya kemajuan-kemajuan dan penemuan-penemuan kaum Muslimin. Yaitu semasa mereka itu diberi karunia oleh Allah menjadi pembawa suluh ilmu dan pengetahuan. Banyak dasar catatan dan banyak gagasan, seperti misalnya aljabar dan ilmu kimia, ilmu kesehatan dan perdagangan, bahkan juga ilmu bumi dan penjelajahan angkasa.”[7]
Penghargaan Islam terhadap akal, menurut Natsir, juga terlihat dari sikap Islam terhadap orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya. Dalam beberapa ayat al Qur`an, Allah Swt. dengan jelas mencela orang-orang semacam ini. Misalnya dalam firman Allah Swt. berikut:
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا 
 “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (al Isra: 36)
Untuk menjelaskan ayat di atas, Natsir menegaskan:
“Tegasnya, Agama Islam melarang kita bertaklid buta kepada faham dan i’tikad yang tak berdasar kepada wahyu Ilahi yang nyata, hanya sekedar menurut faham-faham lama (pikiran-pikiran tradisional) yang turun temurun dengan tidak mengetahui dan memeriksa terlebih dahulu, apakah faham itu berguna dan berfaedah dan suci, atau tidak.”[8]
Penghormatan Islam kepada akal dan dorongan Islam kepada umatnya untuk menggunakan akal ini, menurut Natsir, merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam yang menjadi sumber kekuatan yang mendorong munculnya kebudayaan Islam. Dimana, saking kuatnya kebudayaan yang muncul itu, kemudian mempengaruhi kebangkitan budaya di Eropa setelahnya.[9]
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam pemikiran Natsir, Islam begitu mengagungkan akal. Bahkan Islam mendorong penganutnya untuk memaksimalkan fungsi akal guna memikirkan ciptaan dan firman Allah Swt.

2.     Akal Harus Tunduk Kepada Wahyu
Dalam konsep Mohammad Natsir, syarat utama penggunaan akal sebagai sumber ilmu dalam Islam adalah akal harus selalu terpimpin dan terbimbing oleh wahyu Ilahi. Wahyu Ilahi adalah pasti kebenarannya karena berasal dari Sang Maha Benar, Allah Swt. Sehingga akal yang terbimbing oleh wahyu Ilahi akan selalu menghasilkan kebaikan dan kebenaran sebagai hasil dari proses berfikirnya. Sebaliknya, jika akal dibiarkan merdeka tanpa bimbingan wahyu Ilahi, maka dapat dipastikan akal tersebut akan menghasilkan kesalahan, kejahatan dan kehancuran.
Kesimpulan Mohammad Natsir di atas, berangkat dari keyakinan bahwa kemampuan akal memang luar biasa. Namun demikian akal tetaplah memiliki keterbatasan. Tidak semua hal yang ada di alam raya ini dapat difikirkan oleh akal. Kesimpulan ini, kata Natsir, juga dianut oleh orang-orang yang selama ini dikenal sangat mengagungkan akal. Ia memberikan contoh seorang tokoh Mu’tazilah bernama Al-Jubbai yang begitu meyakini kemampuan akal. Namun demikian Al-Jubbai tetap mengakui adanya keterbatasan akal. Natsir menjelaskan:
“Akan tetapi seorang Mua’tazilah seperti Al-Jubbai yang menjadi pelopor dari akal merdeka terpaksa mengakui waktu mendapatkan soalan dari muridnya Al-Asy’ari bahwa banyaklah hal-hal yang tak mungkin dicampuri oleh akal merdeka; banyaklah hal-hal yang kita sebagai manusia, terpaksa berkata: ‘Wallahu a’alam!’. Banyak pula yang harus kita terima, ‘bila-kaifa’, tanpa tanya lagi bagaimananya”[10]
Sementara di pentas sejarah Barat, kata Natsir, ada seorang filosof besar yang sangat terkenal sebagai ahli akal bernama Immanuel Kant. Namun ia membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa semua dapat dikembalikan kepada akal, semua dapat diputuskan oleh akal. Kant percaya ada hal-hal yang tidak dapat dikembalikan dan diputuskan oleh akal.[11]
Karena itu menurut Natsir, jika akal dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang berada di luar kemampuannya, maka hasilnya akal akan terbentur dan kemudian hancur.
Begitu pula dalam konteks berislam. Menurut Natsir jika akal dibebaskan berfikir tanpa panduan wahyu Ilahi, maka akal akan menyesatkan manusia. Natsir memberikan contoh bagaimana dalam sejarah Islam, banyak terdapat orang-orang yang menggunakan akalnya tanpa menjadikan wahyu sebagai pemimpinnya, kemudian terjerumus dalam kesesatan. Misalnya ia mencontohkan pemikiran tokoh-tokoh sufi yang terjebak dalam faham pantheisme semisal Al-Hallajj. Karena menggunakan akalnya tanpa bimbingan wahyu, Al-Hallajj sampai berani mengatakan “Ana al-haqq” (Akulah Tuhan).[12]
Begitu pun dalam masalah ibadah. Jika akal dibiarkan bebas tanpa bimbingan wahyu, maka akan muncul bentuk-bentuk upacara baru yang dihukumi sebagai ibadah, sekalipun tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. inilah yang dimaksud dengan bid’ah dan khurafat. Natsir memberikan contoh seperti upacara azan di kubur, meminta syafaat ke kubur dan lain-lainnya. Natsir berkesimpulan bahwa segala bentuk khurafat, bid’ah dan takhayul adalah hasil dari akal yang digunakan tanpa bimbingan wahyu.[13]
Karenanya Natsir berkeyakinan, sesungguhnya tidak ada yang dinamakan akal merdeka dalam arti bebas dari pengaruh luar. Akal yang bebas merdeka tanpa bimbingan wahyu Ilahi sesungguhnya tidak sepenuhnya bebas. Akal bebas merdeka yang seperti itu, “Menurut kemauan hawa nafsu yang bertopeng akal merdeka.”[14] Sehingga wajar jika akal merdeka yang sesungguhnya dipengaruhi hawa nafsu itu akan mengantarkan orang kepada kesalahan, kejahatan dan kehancuran karena semata-mata mengikuti keinginan hawa nafsunya.
Karena itu, para ilmuwan muslim yang terkenal karena pengagunggan mereka terhadap akal, tetap saja tidak menyerahkan seluruh masalah kepada akal. Mereka tetap meyakini ada bagian-bagian dalam kehidupan ini yang tidak boleh diserahkan kepada akal, namun harus dikembalikan kepada wahyu Ilahi. Natsir mencontohkan beberapa orang diantara mereka.
Ibnu Sina misalnya, seorang filosof muslim yang sangat rasional sehingga banyak yang menyebutnya sebagai seorang rasionalis. Ia begitu banyak mempelajari dan mengambil ilmu dari peninggalan kebudayaan Yunani. Namun demikian Ibnu Sina tetap memegang teguh aqidah dan aturan-aturan ibadah dalam Islam. Misalnya ia pernah menjelaskan tentang seseorang yang enggan berwudhu untuk solat subuh karena udara yang amat dingin. Alasan orang ini sangat rasional, namun Ibnu Sina kemudian membantahnya, sebagaimana yang dikutip Natsir, dengan mengatakan:
“…baru aku menyuruh engkau keluar kamar mengambil air wudhu saja, engkau sudah enggan lantaran hari dingin. Dengarkanlah suara Muazzin yang nyaring dari atas menara itu! Di sini engkau mendapat tahu: bagaimana perbedaan kekuatan akal manusia dengan wahyu Ilahi. Dalam hari yang sedingin ini, si-Muazzin tak gentar pergi ke luar dalam gelap gulita memanjat pula ke atas menara yang tinggi untuk membangunkan kaum Muslimin yang akan menyembah Allah. Semuanya ini hanya lantaran sepatah suruhan Rasulullah Saw.”[15]
Karena pandangannya itulah, Natsir mendefinisikan bahwa orang yang menggunakan akalnya dalam bimbingan wahyu sebagai orang pintar. Sementara orang yang menggunakan akalnya tanpa bimbingan wahyu sebagai orang yang bodoh.[16]
Konsep ini disimpulkan Natsir sebagai berikut:
“Akal merdeka ibarat api yang mungkin lampu yang gemerlapan memimpin kita dari gelap gulita ke terang benderang. Seringkali mungkin pula ia menyala berkobar-kobar menyiar bakar rumah  dan gedung, menghanguskan barang yang ada. Maka agama datang, bukan semata-mata memerdekakan akal. Agama datang membangunkan akal, membangkitkan akal, menggemarkan orang memakai akal sebagai suatu nikmat Ilahi yang maha indah. Agama datang mengalirkan akal menurut aluran yang lurus, jangan melantur ke sana ke mari merampok pagar dan pematang-pematang.”[17]
Karena itulah, Natsir menggunakan istilah “kemerdekaan berfikir” bukan “kebebasan atau keterbukaan berfikir”. Menurut Anwar Harjono, ini menunjukan bahwa konsep kebebasan dan keterbukaan berfikir menurut Natsir itu tidak berarti tanpa batas. Tetapi sebaliknya, tetap ada batas-batas, namun batas-batas itu tidak boleh menjadi tekanan apalagi penindasan.[18]
Pemikiran Natsir ini menurut Taufik Abdullah merupakan cerminan dari sikapnya yang anti terhadap sekularisasi pemikiran yang muncul akibat dari akal merdeka yang tanpa batas itu.[19] Kesimpulan Taufik sangat bisa diterima, karena Natsir memang dikenal sebagai tokoh Islam yang sangat anti terhadap sekularisasi dan sekularisme. Sikap Natsir itu misalnya dapat dilihat dalam tulisannya yang berjudul “Pilihan Kita, Satu Dari Dua, Sekularisme atau Agama”, dimana di dalam tulisannya itu, dengan tegas Natsir menolak sekularisme sebagai dasar Negara dan lebih memilih agama (Islam) sebagai dasar negara[20].
Inilah syarat penggunaan akal dalam Islam dalam pemikiran Natsir, akal harus senantiasa berada dalam bimbingan wahyu Ilahi.

3.     Pembagian Lapangan Akal dan Agama
Menurut Natsir, dalam kaitannya dengan pembagian lapangan antara akal dan agama, ada tiga lapangan yang harus dibahas. Pertama, lapangan yang menjadi bagian agama. Kedua, lapangan yang menjadi bagian agama dan akal secara bersamaan. Ketiga, lapangan yang menjadi bagian akal.
Pembagian tiga lapangan ini, disimpulkan Natsir dari hadits
Rasulullah Saw. berikut:
اَنْتُمْ اَعْلَمُ بِاَمْرِ دُنْيَاكُمْ مِنِّي وَاَنَا بِاَمْرِ اخِرَتِكُمْ مِنْكُمْ
“Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu dari padaku dan aku lebih tahu urusan akhiratmu dari kamu” (HR. Muslim dari Anas bin Malik dan Aisyah)
a.       Lapangan Agama
Menurut Natsir, di dalam ajaran Islam, ada perintah yang maknanya tidak dapat difahami oleh akal. Biasanya perintah semacam ini tidak disebutkan dengan jelas maksud, sebab dan tujuannya oleh Allah Swt. Namun Allah Swt. menetapkan dengan jelas tata cara pelaksanaannya, baik melalui ayat-ayat al Qur`an maupun hadits Rasulullah Saw.
Perintah semacam ini, harus dikembalikan sepenuhnya kepada syari’at. Kita tidak boleh mempertanyakan kenapa begini dan begitu. “Kita terima dengan bila-kaifa”, tulis Natsir.[21]
Inilah pejelasan Natsir tentang lapangan agama itu. Dimana dalam lapangan ini kita tidak boleh menggunakan akal kita untuk mempertanyakannya. Akal hanya diberi rangsangan untuk mencari tahu apa hikmah di balik perintah itu. Jika pun pada akhirnya akal tidak mampu memahami hikmahnya, maka wajib bagi kita untuk tetap mengimani perintah itu dan mengucapkan wallahu ‘alam.

b.      Lapangan Agama dan Akal
Ada juga perintah agama yang maknanya dapat difahami oleh akal, dan ada penjelasan mengenai ‘illatnya (sebab, maksud dan tujuannya). Namun Allah Swt. tidak menjelaskan secara rinci tata cara pelaksanaannya. Misalnya perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, perintah menutup aurat dan sebagainya.
Perintah semacam ini, sekalipun masih menjadi bagian dari syari’at karena ada perintahnya dari Allah Swt., namun tata cara pelaksanaannya diserahkan kepada akal kita asalkan tata cara itu dapat mencapai yang dimaksud oleh perintah itu. Bahkan tata cara itu bisa saja disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan zaman yang ada.[22]

c.       Lapangan Akal
Menurut Natsir, selain kedua jenis perintah di atas, ada begitu banyak urusan-urusan dunia yang tidak diatur secara spesifik di dalam ajaran Islam. Urusan-urusan itu bisa terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk urusan-urusan ini, akal diberikan kebebasan guna mengaturnya. Bukan hanya dibebaskan, bahkan akal manusia didorong untuk mengelaboorasi urusan-urusan dunia itu.
Hanya satu syaratnya menurut Natsir, aturan-aturan yang dihasilkan oleh akal itu tidak boleh melanggar larangan-larangan Allah Swt.[23] Sebab memang dalam kaidah ushul fiqih disebutkan bahwa segala sesuatu dalam urusan dunia itu adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukan larangan terhadapnya.
Natsir mengingatkan, jangan sampai kita salah memasangkan akal dengan lapangannya. Sebab jika kita salah memasangkan maka akibatnya akan fatal. Jika orang enggan menggunakan akalnya dalam lapangan akal, maka akan terjadi kejumudan dan kemandekan ilmu.
Misalnya, ada orang yang menyampaikan khutbah jumat di depan orang Indonesia yang tidak mengerti bahasa Arab dengan menggunakan bahasa Arab. Alasannya mencontoh Rasulullah Saw. Sebab beliau Saw. pun menyampaikan khutbah jumat menggunkaan bahasa Arab. Padahal jelas, tujuan dari khutbah itu adalah memberikan pemahaman kepada orang yang hadir mengenai ajaran-ajaran Islam. Mana mungkin orang yang hadir akan faham jika bahasa yang digunakan oleh khatib adalah bahasa yang tidak dimengerti oleh orang yang hadir itu.
Ini adalah lapangan agama sekaligus akal. Perintahnya dari agama tapi tata caranya diserahkan kepada akal. Jika akal tidak digunakan, maka yang terjadi adalah kebodohan umat, karena umat tidak akan memiliki tambahan pemahaman tentang agamanya, sebab khutbah jumat disampaikan dengan bahasa Arab, bahasa yang tidak mereka mengerti.[24]
Begitupun sebaliknya, jika akal dipasangkan dengan lapangan agama, maka yang akan timbul adalah urusan-urusan baru dalam agama ini. Natsir mencontohkan mengenai jilatan anjing pada bejana. Menurutnya, ini adalah lapangan agama murni, sebab Allah Swt. memberikan perintah dan menjelaskan dengan rinci tata cara pelaksanaanya. Dimana jika ada bejana yang dijilat anjing, maka cara mensucikannya adalah dengan membasuhnya sebanyak tujuh kali yang salah satunya menggunakan tanah.
Jika akal masuk dalam urusan ini, bisa jadi orang kemudian berkata bahwa lebih baik bejana itu dibersihkan dengan sabun saja, tentu akan jauh lebih bersih dari pada dibersihkan dengan tanah. Sehingga akhirnya karena akalnya orang meninggalkan ajaran Islam dan menggantinya dengan sesuatu yang baru.[25]
Konsep hubungan antara akal dan agama dalam Islam ini jelas berbeda dengan konsep hubungan akal dan agama dalam pandangan Barat. Dimana dalam pandangan Barat hubungan keduanya dibangun di atas epistemologi sekular. Sehingga epistemologi Barat telah melenyapkan wahyu sebagai sumber ilmu. Ilmu menjadi musuh agama. Akibatnya, ilmu menjadi problematis dan spiritualitas manusia menjadi terkikis.[26]
Demikianlah pemikiran Natsir tentang pembagian medan akal dan agama. Orang yang membagi dan menggunakannya dengan tepat akan menghasilkan pemikiran yang benar. Sebaliknya, jika salah memasangkan antara akal dengan medan yang bukan bagiannya, atau sebaliknya salah memasangkan antara agama dengan medan yang bukan bagiannya, maka yang dihasilkan adalah pikiran-pikiran yang keliru dan bahkan sesat.
Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Mohammad Natsir, Islam sangat menghargai akal dan mendorong umatnya untuk mempergunakan akal semaksimal mungkin. Orang yang menggunakan akalnya diberikan posisi terhormat, sementara orang yang tidak mau menggunakan akalnya banyak dicela, baik oleh ayat-ayat al Qur`an maupun hadits Rasulullah Saw. Dengan demikian dalam konsep Islam, akal diakui sebagai salah satu sumber untuk menghasilkan ilmu.
Hanya saja, Natsir mengingatkan bahwa penggunaan akal itu harus senantiasa berada dibawah bimbingan wahyu Ilahi. Sebab Natsir meyakini bahwa jika akal dibebaskan dari bimbingan wahyu Ilahi, maka akal akan bekerja dengan dorongan hawa nafsu. Sehingga yang akan dihasilkan dari akal semacam ini hanyalah kerusakan dan kejahatan yang akan menyampaikan pada kehancuran. Dengan demikian, yang benar adalah, posisi akal sebagai sumber ilmu, berada sejajar dengan indera dan hati, dibawah bimbingan wahyu Ilahi.
Kemudian Natsir mengingatkan bahwa kemampuan akal yang luar biasa itu tetap saja memiliki keterbatasan. Maka agar tidak melampaui batasan itu, diperlukan pemahaman yang baik tentang lapangan yang boleh dimasuki akal dan lapangan yang tidak boleh dimasuki akal. Ini penting sebab jika akal dipaksakan masuk ke dalam lapangan yang bukan wilayahnya, maka akan terjadi benturan yang hebat antara akal dan ajaran Islam. Sebab wilayah yang terlarang bagi akal itu adalah wilayah-wilayah agama dan keimanan. Misalnya wilayah alam ghaib, wilayah takdir dan wilayah ibadah.
Demikianlah pembahasan mengenai konsep akal sebagai sumber ilmu dalam Islam menurut pemikiran Mohammad Natsir. Wallahu ‘alam.







DAFTAR PUSTAKA
HarjonoAnwar,dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, cet. 2.
Husaini, Adian, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: GIP, 2013.
Natsir, Mohammad, Capita Selecta 1, Jakarta: Yayasan Bulan Bintang dan Media Da’wah, 2008, cet. IV.
__________________, Capita Selecta 2, Jakarta: PT. Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008, cet. II.
__________________, Capita Selecta 3, Jakarta: PT. Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008.
__________________, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Girimukti Perkasa, 1988.
Kamaluddin, Laode M. (editor), On Islamic Civilization, Semarang: Unissula Press, 2010.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009, cet. ke 17.
Panitia Peringatan, Muhammad Natsir 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan Dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka Antara, 1978.


[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009, cetakan ke 17, hal. 261.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, hal. 257.
[3] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Girimukti Perkasa, 1988, hal. 229.
[4] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 230.
[5]Mohammad Natsir, Capita Selecta 1, hal. 279.
[6] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 231.
[7] Panitia Peringatan, Muhammad Natsir 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan Dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka Antara, 1978, hal. 255. Penjelasan lebih dalam tentang keterkaitan antara perkembangan Ilmu di Barat dan pengaruh Peradaban Islam terhadapnya, dapat dibaca dalam tulisan Syamsuddin Arif berjudul ‘Transmigrasi Ilmu: Dari Dunia Islam ke Eropa?’ dalam Laode M. Kamaluddin (editor), On Islamic Civilization, Semarang: Unissula Press, 2010, hal. 227-240.
[8] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 232. 
[9]Mohammad Natsir, Capita Selecta 1, Jakarta: Yayasan Bulan Bintang dan Media Da’wah, 2008, cet. IV, hal. 4-5.
[10] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 243-244.
[11] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 244.
[12]Mohammad Natsir, Capita Selecta 1, hal. 283.
[13] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 236-237.
[14] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 248.
[15] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 245.
[16] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 238.
[17]Anwar Harjono dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, cet. 2, Hal. 42.
[18] Anwar Harjono dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, hal. 43.
[19]Anwar Harjono dkk, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, hal. 50.
[20]MohammadNatsir, Capita Selecta 3, Jakarta: PT. Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008, hal. 99-109.
[21] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 249.
[22] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 250.
[23] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 250.
[24] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 251-252.
[25] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, hal. 254-255.
[26]Laode M. Kamaluddin (editor), On Islamic Civilization, Semarang: Unissula Press, 2010, Hal. 406.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENEGUHKAN KEMERDEKAAN DENGAN DA’WAH

  Oleh: Dr. Dwi Budiman Assiroji (Ketua STID Mohammad Natsir)   Tahun ini kita memperingati kemerdekaan negara kita yang ke 79. Artiny...