Suatu hari, Rasulullah ﷺ mengutus Al-Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith kepada Bani Musthaliq untuk mengambil zakat dari mereka. Hal ini Rasulullah ﷺ lakukan karena sebelumnya Al-Harits, pemimpin Bani Musthaliq, sudah masuk Islam dan berjanji akan mengajak kaumnya masuk Islam kemudian akan mengumpulkan zakat dari mereka yang bersedia masuk Islam.
Di Tengah
perjalanan setan datang menggoda Al-Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith dengan
memanfaatkan masa lalu Al-Walid yang pernah bermusuhan dengan Bani Musthaliq. Setan
membisikan persangkaan dalam diri Al-Walid bahwa Bani Musthaliq akan menolak
dan membunuhnya. Maka Al-Walid kemudian kembali ke Madinah dan menyampaikan
laporan kepada Rasulullah ﷺ
bahwa Bani Musthaliq menolak membayar zakat dan berencana untuk membunuh
dirinya. Mendengar laporan dari Al-Walid ini, Rasulullah ﷺ
langsung mempersiapkan pasukan untuk memerangi Bani Musthaliq.
Namun ternyata
setelah pasukan Rasulullah ﷺ ini sampai
di tempat Bani Musthaliq, mereka melihat Bani Musthaliq sedang melaksanakan
shalat maghrib dan isya, artinya mereka masih beriman dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Merekapun
segera menyerahkan zakat yang sudah dijanjikan Al-Harits sebelumnya. Setelah ditabayyun
kepada Al-Harits didapati keterangan bahwa mereka tidak pernah menerima
kedatangan utusan Rasulullah ﷺ. Artinya
berita yang disampaikan Al-Walid adalah berita bohong. (Tafsir Ibnu Katsir)
Maka turunlah
surat Al-Hujurat ayat ke 6 untuk mengomentari kejadian tersebut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟
قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.”
Ayat di
atas memerintahkan kepada orang-orang beriman agar berhati-hati dalam menerima
berita dari orang fasiq. Yang dimaksud dengan orang fasiq adalah orang yang
berbuat dosa, dalam konteks ayat ini adalah yang berbuat kebohongan. Sebab berita
yang dibawa oleh orang fasiq (orang yang berbohong) adalah berita yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Karena itu orang-orang beriman diperintahkan untuk tabayyun
terlebih dahulu.
Ibnu
Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim berkata, “Allah
Ta’ala memerintahkan untuk melakukan kroscek terhadap berita dari orang fasik.
Karena boleh jadi berita yang tersebar adalah berita dusta atau keliru.”
Tabayyun artinya
adalah meneliti berita yang diterima, tidak langsung diyakini kebenarannya.
Caranya dengan mengkonfirmasi langsung kebenarannya kepada pihak yang terkait
dengan berita tersebut atau kepada pihak lain yang dinilai mengetahui isi
berita tersebut. Dalam kasus di atas, adalah dengan langsung bertanya kepada pihak
yang terkait dengan berita tersebut yaitu Al-Harits sebagai pemimpin Bani
Musthaliq.
Sebab jika
tidak dilakukan proses tabayyun, maka bisa jadi kita akan menimpakan suatu
musibah kepada kaum tertentu lalu kemudian kita menyesal dengan musibah yang
kita timpakan tersebut. Dalam kisah di atas, seandainya pasukan Rasulullah
tidak tabayyun terlebih dahulu kepada Al-Harits, maka bisa jadi akan
terjadi penyerangan kepada Bani Musthaliq yang penyerangan itu kelak akan
disesali oleh pasukan kaum muslimin karena sesungguhnya Bani Musthaliq tidak
layak diserang. Sebab alasan mereka diserang, yakni menolak membayar zakat dan
berencana membunuh utusan Rasulullah, ternyata adalah berita bohong.
Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di saat menerangkan ayat di atas, beliau berkata,
“Termasuk adab bagi orang yang cerdas yaitu setiap berita yang datang dari
orang kafir hendaknya dicek terlebih dahulu, tidak diterima mentah-mentah.
Sikap asal-asalan menerima amatlah berbahaya dan dapat menjerumuskan dalam
dosa. Jika diterima mentah-mentah, itu sama saja menyamakan dengan berita dari
orang yang jujur dan adil. Ini dapat membuat rusaknya jiwa dan harta tanpa
jalan yang benar. Gara-gara berita yang asal-asalan diterima akhirnya menjadi
penyesalan.”
Ajaran tabayyun
ini, semakin diperlukan keberadaannya hari ini. Sebab kita sedang berada di
zaman yang disebut sebagai zaman tsunami informasi. Melalui media komunikasi
yang sudah berkembang sedemikian pesat, dengan mudah kita mendapatkan informasi
yang sangat berlimpah tentang apa saja dan terkait siapa saja secara bebas. Di sisi
lain orang juga dengan mudah membuat dan menyebarkan informasi tentang apa saja
dan terkait siapa saja. Maka tentu diperlukan tabayyun terhadap
informasi yang kita dapatkan itu.
Tabayyun dalam
menghadapi tsunami informasi itu diformulasikan oleh para ahli ke dalam satu
istilah yang disebut literasi data. Yaitu kemampuan seseorang dalam membaca,
menganalisa dan membuat kesimpulan terhadap data dan informasi yang amat banyak
(big data) tersebut. Sehingga dengan literasi data ini, seseorang tidak
akan mudah percaya dengan berita yang diterimanya, ia akan senantiasa waspada
dengan menganalisanya terlebih dahulu dan jika diperlukan mengkonfirmasinya kepada
pihak-pihak terkait.
Sebagai contoh,
beberapa waktu lalu beredar video di media sosial, didalamnya dijelaskan bahwa
ada museum Rasulullah yang telah selesai dibangun di Kawasan Ancol. Namun keberadaan
museum itu ditutup-tutupi oleh pihak-pihak terkait karena dikhawatirkan dapat
memberikan efek positif bagi seorang tokoh yang sedang menjadi lawan dari penguasa.
Banyak orang yang terpengaruh dengan narasi yang ditampilkan dalam video ini. Beberapa
diantara mereka bahkan mengajak untuk memobilisasi massa agar dilakukan protes
kepada pemerintah. Padahal setelah ditabayyun kepada pengelola Kawasan Ancol,
didapatkan keterangan bahwa museum Rasulullah ﷺ itu
belum selesai dibangun bahkan masih dalam tahap perencanaan.
Semoga Allah
Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita agar kita dapat senantiasa
melakukan tabayyun terhadap berita-berita yang kita terima. Semoga Allah
Ta’ala melindungi kita dari fitnah berita bohong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar