PENGANTAR
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia,
sehingga ada yang menyebut pesantren sebagai bapak pendidikan Islam Indonesia.
Pesantren juga adalah lembaga pendidikan Islam yang sangat khas Indonesia.
Sebab lembaga pendidikan yang mirip pesantren tidak ditemukan di kawasan Timur
Tengah.[1]
Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren telah membuktikan diri
sebagai lembaga pendidikan yang memberikan banyak sekali kontribusi untuk umat
uslam, masyarakat dan bangsa Indonesia. Dalam menghadapi penjajahan misalnya,
pesantren adalah salah satu unsur penting yang selalu mengobarkan perlawanan
dan menyiapkan para santrinya untuk melawan penjajah. Sampai-sampai Mansur
Suryanegara pernah mengatakan bahwa sulit mencari gerakan perlawanan terhadap penjajah
di Indonesia yang bukan dilakukan oleh orang pesantren.[2] Sehingga
beberapa kiyai pesantren kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional oleh
pemerintah karena kontribusinya dalam melawan penjajah dan merebut kemerdekaan.
KH. Noer Ali, KH. Abdul Halim, K.H. Hasjim Asjarie, dan K.H. Abdul Wahid Hasjim
adalah contohnya.[3]
Dari pesantren juga banyak lahir tokoh-tokoh Islam yang kemudian
menjadi tokoh nasional dan bahkan internasional. Di antaranya, H.M. Rasyidi
(alumni Pondok Jamsaren, Menteri Agama RI pertama), Mohammad Natsir (alumni
Pesantren Persis / Perdana Menteri NKRI pertama), KH. Imam Zarkasyi (alumni
Jamsaren, anggota Dewan Perancang Nasional), KH. Idham Khalid (alumni Pesantren
Gontor / wakil Perdana Menteri dan Ketua MPRS).[4]
Dalam perkembangannya, dikenal dua jenis pesantren, yaitu pesantren
tradisional dan pesantren modern. Pesantren tradisional adalah pesantren yang
hanya mengajarkan kitab Islam klasik. Sementara pesantren modern adalah
pesantren yang melakukan reformasi terhadap sistem pesantren tradisional dengan
mengajarkan juga ilmu umum dengan membuka sekolah umum di lingkungan dan di
bawah tanggung jawab pesantren.[5]
Salah satu pesantren modern yang berkembang sangat pesat hingga
hari ini adalah Pondok Modern Darussalam yang berada di Gontor, Ponorogo.
Sampai tahun 2012, pesantren yang didirikan pada tahun 1926 ini, telah memiliki
13 pesantren putra dan tujuh pesantren putri yang tersebar di beberapa wilayah
di Indonesia. Jumlah santri dan guru di semua pesantren yang lebih dikenal
dengan nama Pesantren Gontor ini adalah 24.145 orang. Dengan tanah wakaf seluas
727,37 Ha. Pesantren ini juga sudah berhasil mengembangkan jenjang
pendidikannya hingga tingkat master (S.2).[6]
Perkembangan pesantren Gontor yang begitu pesat tidak dapat dilepaskan
dari sosok salah seorang pendirinya yaitu Imam Zarkasyi. Ia merupakan pendiri
yang lebih banyak dikenal oleh masyarakat dibandingkan kedua kakaknya yang
sama-sama mendirikan Pesantren Gontor. Selain karena usianya lebih panjang dari
kedua kakaknya, juga karena Imam Zarkasyi memiliki pemikiran pendidikan yang
kemudian banyak ia implementasikan di Pesantren Gontor.
Karena itu, mengkaji pemikiran pendidikan Imam Zarkasyi, khususnya
yang berkaitan dengan Pesantren, menjadi sangat menarik. Dalam makalah ini akan
dibahas pemikiran pendidikannya dengan didahului oleh penjelasan tentang
biografi singkatnya. Selanjutnya dibahas faktor yang dinilai mempengaruhi pemikiran
pendidikannya. Kemudian baru dibahas pemikiran pendidikannya yang terdiri atas
tujuan pendidikan, integrasi ilmu dan sistem pendidikan, metode mengajar,
metode pembelajaran bahasa Arab, modernisasi pesantren dan terakhir konsep
kaderisasinya.
BIOGRAFI SINGKAT
Imam Zarkasyi dilahirkan pada tanggl 21 Maret 1910 di desa Gontor,
Ponorogo, Jawa Timur. Ia adalah anak ketujuh dari Kyai Santoso Anom Besari,
generasi ketiga yang memimpin Pesantren Gontor Lama[7].
Saat usia Imam Zarkasyi delapan tahun, ayahnya meninggal dunia. Dua tahun
kemudian, tepatnya tahun 1920, ibunya juga meninggal.[8]
Sekali pun sudah ditinggal kedua orangtuanya, namun pendidikan Imam
Zarkasyi tetap berlanjut. Bahkan ia berkesempatan mengenyam pendidikan di dua
model lembaga pendidikan, di pesantren tradisional dan di pendidikan madrasah
yang bercorak modern saat itu.
Di tingkat dasar, Imam Zarkasyi belajar di Sekolah Dasar Ongko Loro
di Jetis Ponorogo. Berbarengan dengan itu ia juga mondok di Pondok Pesantren Josari,
Ponorogo. Imam Zarkasyi pernah pula belajar
di pondok Joresan Ponorogo. Selesai belajar di Sekolah Ongko Loro,
beliau melanjutkan belajar ke Pondok
Pesantren Jamsaren, Solo sekaligus belajar di Sekolah Mambaul 'Ulum dan
kemudian melanjutkan ke Madrasah Adabiyah
dibawah asuhan Ustadz al-Hasyimi[9].
Selama belajar di Madrasah Adabiyah ini, Imam Zarkasyi sangat tertarik dengan
pelajaran Bahasa Arab dan berusaha mendalaminya. Sang Guru, Ustadz al-Hasyimi,
juga sangat mempengaruhi pemikiran Imam Zarkasyi, terutama mengenai modernisasi
sistem pendidikan Islam.
Setamat dari Jamsaren dan sekolah Madrasah Adabiyah pada tahun 1930,
Imam Zarkasyi melanjutkan pendidikannya di Normal Islam dan Sumatera Thawalib
di Padang Panjang, Sumatera Barat. Lembaga ini dipimpin oleh Mahmud Yunus,
seorang alumni Darul ‘Ulum, Mesir. Imam Zarkasyi menyelesaikan pendidikannya di
sekolah ini tahun 1935.[10] Selepas
itu ia diamanahi oleh Mahmud Yunus untuk menjadi guru dan direktur di almamaternya. Sebab dalam
pandangan Mahmud Yunus, Imam Zarkasyi memiliki kemampuan untuk mengelola
lembaga pendidikan dan sekaligus
mengajar. Setahun kemudian, Imam Zarkasyi mengembalikan amanah gurunya itu dan
kembali ke Gontor untuk bergabung kembali bersama kedua kakaknya, Zainuddin Fannani
dan Ahmad Sahal, mengelola Pesantren Gontor. Imam Zarkasyi melihat,
kehadirannya lebih diperlukan di Gontor daripada di Padang Panjang.[11]
Sebab saat itu, Pesantren Gontor sendiri baru kembali bangkit
setelah mati suri sekian lama. Tepatnya pada tanggal 20 September 1926
bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 1345 H., pada peringatan Maulid Nabi, di
hadapan masyarakat yang hadir pada kesempatan itu, dideklarasikan pembukaan
kembali Pondok Gontor oleh tiga bersaudara, -Imam Zarkasyi, Zainuddin Fanani
dan Ahmad Sahal-.[12]
Mereka memperbaharui sistem pendidikan di Gontor dan menamakannya dengan Pondok
Modern Darussalam Gontor. Jenjang pendidikan dasar dimulai dengan nama Tarbiyatul
Athfal.[13]
Setelah bergabung kembali mengelola Gontor, Imam Zarkasyi mengusulkan
kepada kedua kakaknya untuk membuka program baru yang diberi nama Kulliyatul
Mu’allimin al-Islamiyah (KMI), program pendidikan yang diselenggarakan
selama enam tahun, setingkat dengan jenjang pendidikan menengah. Usulnya itu
disetujui dan ia diamanahi menjadi direkturnya. Gagasannya ini dipengaruhi oleh
pendidikannya ketika di Normal Islam School, Padang Panjang.[14] Di
Pesantren Gontor, Imam Zarkasyi juga pernah diamanahi Pejabat Rektor Institut Pendidikan
Darussalam (IPD) hingga berpulang ke rahmatullah pada tahun 1985.
Selain mengelola Pesantren Gontor, Imam Zarkasyi juga diberikan
beberapa amanah di luar pesantren. Diantaranya ia pernah menjadi Kepala Kantor
Agama Karesidenan Madiun. Di Kementrian Agama, Imam Zarkasyi diangkat menjadi
Seksi Pendidikan. Kemudian menjadi Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama
pada sekolah dasar tahun 1951-1953 dan Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama pada tahun 1953. Pada Kementrian
Pendidikan ia sempat menjadi anggota Badan Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan Swasta tahun 1957. Pernah
pula dipercaya menjadi ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran
Agama (MP3A) hingga wafatnya. Dan sejak tahun 1948-1955 menjadi ketua PB
Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII),
selanjutnya tetap menjadi penasehat hinga akhir hayatnya.
Selain itu, pada tahun 1959 Imam Zarkasyi diangkat oleh Presiden
Soekarno menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Deppernas). Disamping itu
juga menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.[15]
Di kancah Internasional Imam Zarkasyi pernah menjadi Anggota
Delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Sovyet tahun 1962 dan
menjadi wakil Indonesia dalam Mu'tamar Majma' al-Buhuts al-Islamiyah
(Muktamar Akademi Islam se Dunia) ke VII di Kairo, Mesir tahun 1972.
Pada tanggal 30 April 1985 pukul 21.00 WIB beliau meninggal dunia
di Rumah Sakit Umum Madiun dengan meninggalkan seorang Isteri dan 11 orang anak.
Anak-anak Imam Zarkasyi adalah:
1.
KH.
Abdullah Syukri Zarkasyi, MA.
2.
Siti
Khuriyyah Subakir
3.
Dra.
Siti Rosyidah
4.
Drs.
Amal Fathullah Zarkasyi, MA.
5.
Dra.
Hj. Annisah Fatimah Tijani
6.
Siti
Farid Ismail
7.
Dra.
Maimunah Alamsyah
8.
Dr.
Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, MA.
9.
Dr. Hamid
Fahmi Zarkasyi, MA.
10. Drs. Nasrullah Zainul Muttaqin
11. Ir. Muhammada Ridho, MM.[16]
Karya Tulis
Imam Zarkasyi merupakan seorang tokoh yang
cukup produktif menulis. Dari sekian banyak tulisannya, ada yang ditulis sendiri
ada juga yang ditulis bersama orang lain. Beberapa buku hasil karyanya adalah:
1.
Senjata Penganjur
2.
Pedoman Pendidikan Modern
3.
Kursus bahasa Islam (Ditulis bersama KH
Zainuddin Fanani)
4.
Ushuluddin (Pelajaran 'Aqaid/Keimanan)
5.
Pelajaran Fiqh I dan II
6.
Pelajaran Tajwid
7.
Bimbingan Keimanan
8.
Qowa'idul Imla'
9.
Pelajaran Huruf Al Qur'an I dan II
10.
Pelajaran Bahasa Arab I dan II (serta Kamusnya)
11.
At-tamrinat jilid I, II,
III (beserta kamusnya)
Dari pemaparan biografi Imam Zarkasyi di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa beliau adalah orang yang banyak menghabiskan umurnya di dunia
pendidikan. Disamping itu, kegiatannya di pemerintahan maupun organisasi juga
berkaitan erat dengan dunia pendidikan. Tulisan yang dihasilkannya pun
demikian, banyak yang terkait dengan dunia pendidikan, baik tentang bahan ajar
maupun tata cara mengajar. Dengan demikian beliau dapat dikatakan sebagai tokoh
pendidikan.[18]
Karena itu dibawah ini akan diulas mengenai pemikiran pendidikan Imam Zarkasyi,
dengan didahului oleh pembahasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
pemikiran pendidikannya.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PEMIKIRAN PENDIDIKANNYA
Sebelum membahas mengenai pemikiran pendidikan Imam Zarkasyi, akan
dibahas terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran pendidikannya.
Faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pemikiran pendidikan Imam
Zarkasyi adalah karena ia berkesempatan mengenyam pendidikan di lembaga
pendidikan yang beragam, mulai dari pesantren yang tradisional hingga lembaga
pendidikan modern semacam Sekolah Noormal Islam di Padang Panjang. Dari sekian
banyak lembaga pendidikan itu, Sekolah Noormal Islam adalah yang paling besar
pengaruhnya terhadap pemikiran pendidikan Imam Zarkasyi, terutama dari sosok
Mahmud Yunus. Ada dua hal yang diambil Imam Zarkasyi dari sekolah pimpinan
Mahmud Yunus ini. Pertama, keyakinannya bahwa jalur yang paling pas
untuk melakukan gerakan pembaruan dan kebangkitan Islam di masyarakat adalah
jalur pendidikan bukan jalur politik. Sebagaimana ucapannya, “Politik saya adalah
politik pendidikan”.[19] Kedua, pendidikan
Islam di Indonesia harus diperbaharui agar sesuai dengan perkembangan zaman dan
tantangan yang muncul.
Menurut putra tertuanya, Abdullah Syukri Zarkasyi, kedua prinsip
itu berasal dari pemikiran Muhammad Abduh, tokoh yang sangat mempengaruhi
perkembangan pendidikan Islam di Pandang Panjang, termasuk kepada Mahmud Yunus.
Sebab Mahmud Yunus adalah salah seorang alumni dari perguruan tinggi Daar
al-‘Uluum, sebuah lembaga pendidikan hasil dari pemikiran Abduh tentang pembaruan
sistem pendidikan.[20]
Namun demikian, Imam Zarkasyi tidak mengkopi begitu saja pemikiran
Mahmud Yunus di Noormal Islam dan kemudian mengimplementasikannya di Pesantren
Gontor. Sebab menurut Abdullah Syukri, pemikiran Imam Zarkasyi dipengaruhi juga
oleh al-Hasyimi, gurunya di Madrasah Arabiyah Islamiyah, Solo yang berasal dari
Tunisia. Dari gurunya ini Imam Zarkasyi terutama mendapat pemikiran tentang
urgensi bahasa Arab dan cara pengajarannya.[21]
Saat itu, pemikiran tentang modernisasi pendidikan Islam semacam
ini bertujuan untuk menggunakan sektor pendidikan sebagai wahana pembaharuan
ideologi dan budaya Islam sekaligus juga sebagai cara untuk menjawab tantangan
budaya Barat, dominasi kolonial dan sistem tehnologi Barat yang kapitalistis.[22]
Dengan demikian, pengaruh eksternal maupun internal terhadap
pemikiran pendidikan Imam Zarkasyi mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama
memberikan pengaruh tentang perlunya pembaharuan sistem pendidikan Islam.
Sehingga dapat difahami jika pemikiran pendidikan Imam Zarkasyi banyak
berorientasi kepada pembaharuan pensisikan Islam, khususnya di pesantren. Maka
tidak heran jika Imam Zarkasyi banyak melakukan pembaharuan pendidikan di
Pesantren Gontor yang dipimpinnya.
PEMIKIRAN PENDIDIKAN IMAM ZARKASYI
1.
Tujuan Pendidikan
Imam Zarkasyi berpendapat bahwa tujuan
pendidikan bukan hanya membuat anak didik pintar atau memiliki banyak ilmu. Tetapi
lebih dari itu, tujuan sebenarnya dari pendidikan adalah bagaimana agar ilmu
yang dimiliki oleh anak didik dapat diamalkan dan disampaikannya kepada orang
lain.[23]
Pendapat Imam Zarkasyi ini sesuai dengan prinsip dalam Islam. Dimana dalam
Islam dikenal ada tiga kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap muslim,
yaitu mencari ilmu, mengamalkan ilmu dan kemudian menda’wahkan ilmu yang sudah
dimiliki dan diamalkannya itu.[24]
Sehingga tak heran kalau kemudian, Imam
Zarkasyi tidak mengarahkan anak-anak didiknya untuk menjadi pengusaha, pegawai, pejabat, dan bahkan kyai.
Ia justru mengarahkan santrinya untuk menjadi manusia seutuhnya. Dalam arti
manusia yang memiliki ilmu, mengamalkan ilmu dan sekaligus menda’wahkan ilmunya
itu, apapun kelak profesi yang dijalaninya.[25]
Tujuan pendidikan Imam Zarkasyi ini dimaksudkan agar kelak anak-anak didiknya
menjadi manusia yang siap memasuki kehidupan di masyarakat. Ia menjelaskan:
“Yang jelas hanya satu saja, yaitu untuk
menjadi orang … Jadi masih bersifat umum dan belum menjurus, belum calon doktor,
belum calon kusir, belum calon apa-apa. Katakanlah calon manusia, manusia apa
kerjanya? Dari pendidikan yang kami berikan itu mereka akan tahu nanti di
masyarakat apa yang akan dikerjakan … jadi persiapan untuk masuk masyarakat dan
bukan untuk masuk Perguruan Tinggi, maka dari itu kami namai pendidikannya,
pendidikan kemasyarakatan, dan itu yang kami utamakan”.[26]
Dengan kata lain Imam Zarkasyi menginginkan
anak-anak didiknya kelak dapat ikut serta secara aktif dalam proses perubahan
sosial dan pembangunan masyarakat dalam rangka mengikuti perkembangan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[27]
Walaupun demikian, bukan berarti Imam Zarkasyi
melarang anak-anak didiknya melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Bahkan
sebaliknya ia mendorong mereka untuk terus belajar sampai batas kemampuannya.
Ia menyatakan: “Hanya saja, setelah kita tamat dan ternyata masih kuat,
semangat masih ada, orang tua masih sanggup, persiapan orak masih segar dan
tidak/belum terpengaruh “ingin lekas tua”, dapat juga mencoba masuk Perguruan
Tinggi di dalam dan luar negeri, dan banyak pula yang telah mencapai
kesarjanaannya atau menyelesaikan studinya.”[28]
Maka tak heran
jika semua anak Imam Zarkasyi melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan
tinggi. Bahkan kemudian Pesantren Gontor sendiri mendirikan lembaga pendidikan
setingkat perguruan tinggi yang awalnya diberi nama Institut Pendidikan
Darussalam (IPD) dan kemudian dirubah menjadi Institut Studi Islam Darussalam
(ISID). Yang menjadi rektor pertama lembaga ini adalah Imam Zarkasyi sendiri.[29]
2.
Pendidikan Integral
Sejak awal,
Imam Zarkasyi sudah memiliki konsep pendidikan integral. Bermula dari
keprihatinan Ahmad Sahal, kakak tertuanya, setelah pada tahun 1926 mengikuti
Kongres Umat Islam pertama di Surabaya. Dalam kongres itu disepakati bahwa umat
Islam Indonesia akan mengirim utusan guna mengikuti Muktamar Islam se-Dunia
yang akan diselenggarakn di Makkah. Namun muncul kesulitan mengenai siapa orang
yang akan diutus, sebab salah satu syaratnya orang tersebut harus memiliki
kemampuan bahasa Arab dan bahasa Inggris sama baiknya. Karena tidak ada satu
orang pun yang memiliki kemampuan dua bahasa itu maka diutuslah dua orang,
yaitu HOS. Cokroaminoto yang pandai berbahas Inggris dan Kiai Mas Mansur yang
fasih berbahasa Arab.
Keprihatinanya
itu kemudian ia diskusikan dengan kedua adiknya, Zainuddin Fananie dan Imam
Zarkasyi. Mereka bertiga kemudian menyimpulkan bahwa semua itu disebabkan
karena terjadinya pemisahan pendidikan, antara pendidikan agama yang identik
dengan bahasa Arab dan pendidikan umum yang identik dengan bahasa Inggris.
Pendidikan dikotomis semacam ini kemudian menghasilkan orang-orang yang hanya
menguasai ilmu agama dan bahasa arab saja atau menguasai ilmu umum dan bahasa
Inggris saja.
Akhirnya mereka
bertiga sepakat untuk menghapuskan dikotomi ilmu semacam itu dengan mendirikan
lembaga pendidikan yang integral. Sebuah lembaga pendidikan yang
mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu umum. Untuk mewujudkannya mereka
kemudian memilih sistem pendidikan pesantren yang mereka integrasikan dengan
sistem pendidikan madrasah/sekolah. Mereka bertiga kemudian sering mengatakan
bahwa Pesantren Gontor bertujuan menghasilkan “ulama yang intelek”.[30] Bisa
jadi karena itulah kemudian Imam Zarkasyi memilih untuk menempuh pendidikan di
dua model sistem pendidikan, di pesantren dan di madrasah/sekolah.
Prinsip Imam Zarkasyi ini juga terlihat dari
jawabannya ketika ditanya oleh Presiden Soeharto dalam kunjungannya ke
Pesantren Gontor. Soeharto bertanya tentang prosentase pelajaran agama dan
pelajaran umum di Pesantren Gontor, Imam Zarkasyi menjawab dengan tegas: “100%
agama dan 100% umum”. Maksud sebenarnya tidak ada prosentasi agama dan umum di
pesantrennya. Sebab dalam Islam semua ilmu adalah sama. Hanya bedanya yang satu
dihasilkan dari telaah terhadap al-Quran dan as-Sunnah, sementara yang satu
adalah hasil dari penelitian terhadap alam raya.
3.
Metode pembelajaran
Metode
pembelajaran menurut Imam Zarkasyi tergambar dalam buku yang ditulisnya dengan
judul Pedoman dan Arah Tiap-Tiap Pelajaran di Tiap-Tiap Kelas. Abdullah
Syukri Zarkasyi, dari buku tersebut menyimpulkan bahwa metode pembelajaran
menurut Imam Zarkasyi adalah[31]:
a.
Pelajaran
harus dimulai dari yang mudah dan sederhana.
b.
Tidak
tergesa-gesa pindah ke pelajaran yang lain sebelum siswa memahami betul
pelajaran yang telah diberikan.
c.
Proses
pengajaran harus teratur dan sistemik.
d.
Latihan-latihan
diperbanyak setelah pelajaran selesai.
e.
Guru
tidak boleh bosan mengulangi pelajaran dengan soal-soal evaluasi.
f.
Guru
hendaknya pandai-pandai dalam mengetahui dan mengukur kemampuan dan kondisi
kepribadian siswa.
g.
Guru
hendaknya pandai menarik perhatian siswa dengan latihan-latihan dan
ulangan-ulangan yang bervariasi.
h.
Guru
hendaknya selalu memotivasi siswa yang pandai dan tidak meremehkan siswa yang
lemah.
i.
Guru
hendaknya memperhatikan tingkat perbedaan kecerdasan dan kelemahan individu
siswa.
Dari penjelasan di atas nampak jelas bahwa Imam Zarkasyi adalah
seorang pendidik yang sangat memahami metode mengajar yang baik. Sebab metode yang
dikemukakannya merupakan gabungan antara pemahaman yang baik terhadap pola
pengajaran dan pemahaman terhadap kondisi anak didik.
4.
Metode Pengajaran Bahasa Arab
Kemampuan
berbahasa Arab merupakan salah satu ciri khas lulusan pesantren Gontor. Ini
tidak lepas dari kesungguhan Pesantren Gontor dalam mengajarakan bahasa Arab
kepada para santrinya. Salah satu kunci keberhasilan pengajaran bahasa Arab di
Pesantren Gontor terletak pada metode pengajarannya. Imam Zarkasyi memiliki
metode yang baik dalam mengajarkan bahasa Arab, di bawah ini penjelasannya.
Dalam metode pengajaran
bahasa Arab, Imam Zarkasyi berpendapat bahwa yang penting adalah memperbanyak
latihan. Karenanya guru bahasa Arab tidak boleh menggunakan sistem terjemahan, melainkan
harus lebih memperbanyak latihan, baik lisan maupun tulisan. Sehingga murid
diharapkan memiliki kemampuan untuk memfungsikan satu kata dalam banyak ragam
kalimat. Petuah Imam Zarkasyi yang terkenal dalam hal ini adalah, “al-Kalimah
waahidah fi alfi jumlah khairun min alfi kalimah fi jumlatin waahidah”.
Maksudnya adalah, memahami satu kata dan mampu menempatkannya dalam banyak
kalimat adalah lebih baik dari pada mengetahui banyak kata tapi hanya dapat
menerapankan masing-masing kata itu dalam satu kalimat saja.[32]
Model pembelajaran bahasa seperti ini sesuai dengan teori-teori pengajaran
bahasa yang lebih menekankan dan memperbanyak praktek daripada hanya sekedar
teori.
Model pengajaran
bahasa Arab seperti ini diakui keberhasilanya oleh banyak pihak, salah satunya
oleh Prof. Zakiyah Daradjat. Ia mengatakan:
“Saya telah banyak mengunjungi pesantren-pesantren yang didirikan
oleh alumni-alumni Gontor… saya kira pesantren itu sangat baik. Bahasa Arab dan
Inggris para santri aktif, dan itu sangat bagus. Itu adalah impian kita dari
dulu… di Gontor dan di pesantren-pesantren yang didirikan oleh alumni-alumni
Gontor, hal itu sudah berjalan dengan baik. Jadi beliau (Pak Zarkasyi, salah
seorang pendiri Pondok Gontor) sudah berhasil.”[33]
5.
Modernisasi Pesantren
Di
masa lalu, pesantren sering diidentikan orang sebagai lembaga pendidikan yang
tidak terurus dengan baik. hal ini mendorong Imam Zarkasyi untuk melakukan
gerakan modernisasi pesantren. Langkah awal untuk menuju ke arah itu adalah
dengan melakukan studi banding ke empat tempat yang berbeda. Yaitu ke
Universitas al-Azhar, Mesir, ke Pondok Syanggit di Libya, ke Universitas Muslim
Aligarch dan ke Perguruan Shantiniketan.[34]
Langkah
lain yang diambil dalam rangka memodernisasi pesantren adalah dengan mewakafkan
pesantren. Imam Zarkasyi dan kedua kakaknya mewakafkan Pesantren Gontor kepada
umat Islam. sehingga Pesantren Gontor tidak lagi milik keluarga, melainkan sudah
menjadi milik umat Islam. Momen bersejarah bagi terwujudnya niat mewakafkan
Pondok kepada Ummat Islam terjadi pada Peringatan Empat Windu Pondok Modern
Darussalam Gontor. Tepatnya pada tanggal 12 Oktober 1958, Trimurti (K.H. Ahmad
Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkarsyi) sebagai pendiri Pondok
mewakafkan Pondok Modern Darussalam Gontor kepada IKPM yang diwakili oleh 15
orang. Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor ketika itu terdiri dari tanah
kering seluas 1,740 ha (Kampus Pondok), tanah basah seluas 16,851 ha, dan
gedung sebanyak 12 buah; Masjid, Madrasah, Indonesia I, Indonesia II, Indonesia
III, Tunis, Gedung Baru, Abadi, Asia Baru, PSA, BPPM, dan Darul Kutub.[35]
6.
Kaderisasi
Salah satu kunci keberhasilan Pesantren Gontor dapat terus
berkembang hingga kini adalah proses kaderisasi yang berjalan baik di sana. Hal
ini tidak lepas dari peran Imam Zarkasyi yang sangat memperhatikan proses
kaderisasi. Sebagaimana kesaksian putra tertuanya, Abdullah Syukri, suatu hari ia
pernah dipanggil oleh sang ayah bersama sepupunya Hasan Abdullah. Kemudian Imam
Zarkasyi berkata kepada keduanya, “Syukri, kamu anak saya, Hasan kamu
anaknya Pak Sahal, pegang jiwa dan filsafat pondok, kalau tidak kamu akan
terpental dari pondok.”
Dalam pandangan Abdullah Syukri, perkataan ayahnya itu
menggambarkan bahwa bertahannya seorang kader Pesantren Gontor di sana bukan
didasarkan kepada keturunan, melainkan bergantung kepada dirinya sendiri. Jika
ia tetap memegang teguh jiwa dan filsafat pondok maka ia akan bertahan, jika
tidak maka ia akan terpental. Hal ini juga berlaku bagi anak-anak para pendiri
Pesantren Gontor.[36]
Dengan demikian, proses kaderisasi yang dilakukan Imam Zarkasyi
tidak didasarkan pada keturunan sebagaimana kebiasaan kebanyakan pesantren saat
itu, tapi berdasarkan kapasitas diri masing-masing orang. Sehingga Pesantren
Gontor dapat terus dipimpin oleh orang yang memang memiliki kemampuan sebagai
seorang pemimpin dan memahami dengan baik jiwa dan filsafat pondok.
PENUTUP
Imam Zarkasyi adalah seorang tokoh pendidikan Islam yang memiliki
kemampuan komplit. Ia adalah seorang pemikir pendidikan yang menghasilkan
banyak sekali konsep pendidikan. Ia juga seorang konseptor yang mampu membuat
konsep untuk sebuah kegiatan pendidikan. Ia sekaligus juga seorang praktisi pendidikan
yang langsung mengimplementasikan pemikiran dan konsepnya tentang pendidikan
dalam kegiatan belajar-mengajar yang dilakukannya di Pesantren Gontor.
Dengan semua kelebihannya itu, Imam Zarkasyi berhasil membangun
sebuah lembaga pendidikan yang telah terbukti memberikan kontribusi besar dalam
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
An-Najdi, Abdurrahman, Hasyiyah
Tsalatsah al-Ushul, ____, 1987
Nata, Abuddin, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: Grasindo, 2001, hal. 89.
--------------,
Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005, hal.198.
Syukri Zarkasyi, Abdullah, Bekal
untuk Memimpin, Ponorogo: Trimurti Press, 2011, hal. 67
-------------------,
Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006, hal.114.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan
Islami, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam
Perubahan Sosial (terj), Jakarta: P3M, 1986, Hal. 91.
Jurnal Tahunan Wardun, Sambutan
Pimpinan, Ponorogo: Darussalam Press, 2012, hal.ix.
Tim Penyusun, Profil ISID,
Ponorogo: Darussalam University Press, 2011, hal.13.
Daftar Website
:
http://gontor.ac.id, berdirinya-pondok-gontor, 10 April 2013.
http://www.kemsos.go.id, DAFTAR NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, Jum’at,
26 April 2013.
http://www.majalahgontor.net, Membaca
Ulang Kontribusi Pesantren terhadap Bangsa, Jum’at, 26 April 2013.
https://id.wikipedia.org, Pondok Modern Darussalam Gontor, 10 April 2013.
[1] Abuddin Nata
(ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam
di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001, hal. 89. (Pendapat senada
diungkapkan Ahmad Tafsir bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
yang tertua di Indonesia, setelah tumah tangga. Lihat: Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islami, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012, hal. 289.)
[2] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islami, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012, hal. 290.
[3] http://www.kemsos.go.id, DAFTAR
NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, (Jum’at, 26 April 2013)
[4] http://www.majalahgontor.net,
Membaca Ulang Kontribusi Pesantren terhadap Bangsa, Jum’at, 26 April
2013.
[5] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islami, hal. 293.
[6] Jurnal Tahunan
Wardun, Sambutan Pimpinan, Ponorogo: Darussalam Press, 2012, hal.ix.
[7] Disebut Gontor
Lama, karena Pesantren ini kemudian mati suri dan kembali dihidupkan oleh
ketiga putra beliau – Ahmad Sahal, Zainuddin Fanani dan Imam Zarkasyi- dengan
diberi nama Gontor Baru,walau kemudian lebih dikenal dengan Pesantren Gontor.
[8]
https://id.wikipedia.org, Pondok Modern Darussalam Gontor, 10 April 2013.
[9] Seorang ulama,
tokoh politik dan sastrawan asal Tunisia yang diasingkan oleh Penjajah Perancis
dari negerinya. Ia kemudian menetap di Solo.
[10]
http://insistnet.com, Rabu, 10 April 2013 lihat juga https://id.wikipedia.org, Pondok
Modern Darussalam Gontor, 10 April 2013.
[11] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005, hal.198.
[14] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh
Pembaharuan …, hal.198.
[15] Ibid,
hal.199.
[16]
https://id.wikipedia.org, Pondok Modern Darussalam Gontor, 10 April
2013.
[17] Ibid
[18] Kepakaran Imam
Zarkasyi diakui oleh banyak orang, diantaranya oleh Abuddin Nata (lihat Abuddin
Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005, hal.200).
[20] Abdullah
Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006, hal.114.
[21] Ibid
[22] Manfred
Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (terj), Jakarta: P3M, 1986,
Hal. 91.
[23] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh
Pembaharuan …, hal.201.
[24] Misalnya
sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Ibn Abdil Wahhab bahwa
berdasarkan surat al-‘Ashr, ada empat kewajiban pokok bagi seorang muslim,
yaitu mencari ilmu, mengamalkan ilmu, menda’wahkan ilmu dan bersabar dalam
menjalankannya. (lihat Abdurrahman An-Najdi, Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul,
____, 1987, hal. 10-12)
[26] Jajat
Burhanuddin dan Ahmad Baedowi dalam Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan …,
hal.205.
[27] Manfred
Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, hal. 158.
[28] Jajat
Burhanuddin dan Ahmad Baedowi dalam Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan …,
hal.206.
[29] Tim Penyusun, Profil
ISID, Ponorogo: Darussalam University Press, 2011, hal.13.
[30] Abdullah
Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren,
hal.110-112.
[31] Ibid,
hal. 152.
[32] Ibid,
hal. 149.
[33] Zakiyah
Daradjat dalam Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan
Pesantren, hal. 169.
[34]
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan …, hal.207.
[36] Abdullah
Syukri Zarkasyi, Bekal untuk Memimpin, Ponorogo: Trimurti Press, 2011,
hal. 67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar