Ada
peristiwa menarik saat Rasulullah Saw. dan para sahabatnya melaksanakan ibadah haji,
yaitu peristwa Khutbatul Wada yang beliau sampaikan. Inilah khutbah beliau yang
terakhir di hadapan para sahabatnya dalam jumlah yang cukup banyak. Pada
khutbah di Padang Arafah itu, beliau menjelaskan pokok-pokok ajaran agama
Islam; wasiat untuk selalu berpegang teguh kepada al-quran dan as-sunnah, tentang
haramnya darah dan harta kaum muslimin, kewajiban menunaikan amanah, penegasan
akan keharaman riba, penegasan tentang hak dan kewajiban kaum wanita, penegasan
tentang hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami dan istri, wajibnya
memelihara tali ukhuwah islamiyah dan penjelasan tentang persamaan kedudukan dan
martabat seluruh manusia tanpa memandang suku, bangsa, ras dan bahasanya.
Setiap
kali beliau Saw. selesai menjelaskan satu pokok ajaran Islam tersebut, beliau
senantiasa bertanya kepada kurang lebih 100.000 orang sahabat yang hadir saat
itu,
“Allaa
Hal Ballaghtu?/ “Apakah aku sudah menyampaikannya?”, dan
para sahabat menjawab, Allahumma na’am “Ya benar, engkau sudah
sampaikan.” Mendengar jawaban tersebut, Rasulullah Saw. berseru, Allahummasyhad
“Ya Allah saksikanlah bahwa aku telah
menyampaikannya.”
Kemudian,
di akhir Khutbatul Wada tersebut, beliau bertanya kembali kepada para
sahabatnya,
وَأَنْتُمْ مَسْئُولُونَ عَنِّي مَا
أَنْتُمْ قَائِلُونَ ؟
“Kamu nanti akan ditanya tentang diriku,
maka apakah yang akan kamu katakan?.”
Para
sahabat menjawab,
نَشْهَدُ إِنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ
رِسَالاَتِ رَبِّكَ ، وَنَصَحْتَ لِأُمَّتِكَ ، وَقَضَيْتَ الَّذِي عَلَيْكَ
“Kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau sudah
sampaikan (Risalahmu) sudah engkau tunaikan (tugasmu) dan telah engkau
laksanakan semua dengan sungguh-sungguh.” Rasulullah Saw. kemudian berseru,
اللَّهُمَّ اشْهَدْ ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ
“Ya
Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah.”
Persaksian
Rasulullah Saw. ini sepertinya merupakan pertanggungjawaban beliau terhadap
amanah yang diberikan Allah Swt kepada beliau dalam firmanNya:
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن
رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Al
Maidah: 67)
Artinya Rasulullah Saw. ingin membuktikan kepada
Allah Swt. bahwa amanah risalah yang diembankan kepadanya telah sempurna
ditunaikan. Jawaban dari para sahabat beliau jadikan sebagai saksinya.
Beliau
kemudian melanjutkan dengan memerintahkan kepada para sahabatnya,
أَلَا لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ
يُبَلِّغُهُ يَكُونُ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ سَمِعَهُ
“Hendaklah yang hadir menyampaikan apa yang
didengarnya kepada yang tidak hadir, semoga yang menyampaikan lebih
memperhatikan apa yang aku sampaikan daripada orang yang hanya mendengarkan.”
Oleh
para sahabat, perintah Rasulullah Saw. ini difahami sebagai perintah untuk
menda’wahkan ajaran Islam ke seluruh manusia yang belum sampai kepada mereka
ajaran yang agung ini. Hal ini terbukti dengan langkah para sahabat, yang
ketika baru saja sampai di Madinah sekembali dari ibadah haji, mereka langsung
bersiap untuk kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia guna menda’wahkan ajaran Islam, sebagaimana
perintah Rasulullah Saw. di atas. Maka, ketika Rasulullah Saw. wafat sekitar
tiga bulan setelah pulang dari ibadah haji, banyak para sahabat yang tidak
berada di kota Madinah karena mereka sedang berada di berbagai kota lain dalam
rangka menda’wahkan ajaran Islam.
Dalam
bahasa Pak Natsir, peristiwa ini dimaknai sebagai Timbang Terima Da’wah.
Dimana Rasulullah Saw. menunaikan kewajiban risalah dari Allah Swt. untuk
menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia. Setelah tugas itu beliau
tunaikan dengan sempurna, maka tugas risalah itu beliau serahterimakan kepada
umatnya untuk dilanjutkan dengan gerakan da’wah. Dengan penuh semangat, para
sahabat menerima tugas da’wah ini. Inilah
makna dari kalimat Pak Natsir, Risalah Merintis, Da’wah Melanjutkan.
Karena
peristiwa inilah, ajaran Islam kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia
dengan perantara gerakan da’wah. Dari generasi ke generasi gerakan da’wah terus
berjalan menyebarkan ajaran Islam. Hinggalah ajaran mulia ini sampai juga ke tanah
kita, Nusantara.
Maka
sudah menjadi kewajiban kita untuk terus menggelorakan gerakan da’wah dalam
rangka terus melanjutkan risalah yang sudah dengan sempurna ditunaikan oleh
Rasulullah Saw. dan diteruskan oleh gerakan da’wah para sahabat dan generasi
selanjutnya.
Kewajiban
da’wah ini adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang mengaku
dirinya muslim. Karena itu, setiap orang muslim wajib melaksanakan perintah
da’wah ini. Sebagaimana perintah Allah Swt. dalam surat Ali Imran ayat 110:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ
لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ
بِٱللَّهِۗ …١١٠
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah.”
Bahkan, kewajiban da’wah menjadi satu dari empat
syarat yang harus dilakukan agar manusia tidak merugi. Sebagaimana firman Allah
Swt dalam surat al ‘Ashr:
وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran”
Jelaslah bahwa da’wah dalam arti al amru bil
ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
setiap muslim. Bahkan Rasulullah Saw. memerintahkan kepada seluruh kaum
muslimin untuk menyampaikan apa yang ia ketahui berasal dari beliau Saw. walau
hanya satu ayat. Rasulullah Saw. bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ
آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau
hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Selain itu, ia juga merupakan syarat mutlak bagi
kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat. Ia adalah kewajiban yang menjadi
keharusan karena manusia adalah mahluk
sosial (social being). Dengan menegakkan perintah al amru bil ma’ruf
wan nahyu ‘anil munkar ini lah tatanan kehidupan masyarakat akan senantiasa
terjaga dari kehancuran dan kebinasaan. Sebab ketika kewajiban ini tegak di
tengah-tengah kehidupan kaum muslimin, maka perbuatan munkar tidak akan dapat
berkembang karena senantiasa dilarang, sementara perbuatan baik akan terus
tumbuh sumbur karena terus digelorakan. Maka kemudian akan munculah satu
tatanan kehidupan yang dipenuhi dengan kebaikan dan terbebas dari kemunkaran.
Sebaliknya, jika kewajiban da’wah ini tidak
ditegakkan, maka kehidupan kaum muslimin akan dihancurkan oleh Allah Swt.
Rasulullah Saw. memberikan peringatan:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ
فَلَمْ يُغِّيِروه ، أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ
“Sesungguhnya manusia, bila mereka melihat kemunkaran,
sedangkan mereka tidak mencegahnya, maka datanglah saatnya Allah Azza wa jalla
menjatuhkan siksaNya secara umum (atas yang melakukan dan yang tidak melakukan
kemunkaran itu)”.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw. memberingan
peringatan terkait pengabaian terhadap kemunkaran ini:
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ
أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهِ
ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
“Demi
Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kalian betul-betul melaksanakan
amar ma’ruf nahi mungkar atau (jika kalian tidak melaksanakan hal itu) maka sungguh
Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari-Nya kemudian kalian berdoa
kepada-Nya (agar supaya dihindarkan dari siksa tersebut) akan tetapi Allah Azza
wa Jalla tidak mengabulkan do’a kalian.” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi)
Dari dua hadits tersebut, kita dapat memahami bahwa
mengabaikan penegakan al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar akan
mengakibatkan murka Allah Swt., sehingga Ia menurunkan adzabNya.
Karena itulah, pemimpin yang memahami hal ini, ia
akan terbuka kepada penegakkan al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar terhadap
dirinya. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq misalnya, di awal
pemerintahannya, ia berpesan kepada rakyat yang dipimpinnya:
أيها الناس فإني قد وليت عليكم ولست بخيركم، فإن أحسنت
فأعينوني، وإن أسأت فقوموني
“Wahai manusia, aku diangkat menjadi pemimpin kalin, padahal
aku bukan orang terbaik diantara kalian. Jika aku benar maka bantulah aku, tapi
jika aku salah maka luruskanlah aku”
Dengan pesannya itu, Khalifah Abu Bakar seolah
membuka pintu lebar-lebar bagi rakyatnya untuk menegakkan al amru bil ma’ruf
wan nahyu ‘anil munkar terhadap diri
dan kepemimpinannya.
Ini pula yang dikatakan Khalifah Umar bin Khattab
saat pertama diangkat sebagai khalifah menggantikkan Abu Bakar Ash Siddiq.
Yang menarik adalah, setelah Umar menyampaikan hal tersebut, berdiri seorang
laki-laki dengan baju yang amat sederhana sambil menghunuskan pedangnya, ia
berkata:
والله لو رأينا فيك اعوجاجاً
لقومناه بسيوفنا،
“Demi Allah wahai Umar, seandainya aku mendapati
kebohongan pada dirimu, maka aku akan meluruskanmu dengan ujung pedang ini”
Mendengar perkataan salah seorang rakyatnya itu,
Umar berseru:
الحمد لله الذي جعل في
هذه الأمة من يقوم اعوجاج عمر بسيفه؟
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan salah seorang
dari ummat ini yang berani meluruskan Umar dengan ujung pedangnya”.
Keterbukaan Abu Bakar dan Umar tersebut didasarkan
atas kesadaran mereka berdua akan pentingnya penegakkan al amru bil ma’ruf
wan nahyu ‘anil munkar, bahkan kepada kepemimpinan mereka sebagai khalifah.
Karena itulah di masa kepemimpinan keduanya, Allah
Swt. limpahkan kebaikan sehingga saat
itu Islam dapat menjadi rahmat bagi
sekalian alam, Islam berwujud menjadi rahmatan lil ‘alamiin.
(Refleksi
dari Buku Fiqhud Da’wah karya Mohammad Natsir, Bab Timbang Terima Da’wah
dan Wajib Da’wah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar