Minggu, 26 Agustus 2018

MENYAMBUT SERUAN M NATSIR UNTUK SELAMATKAN NEGARA

Kondisi bangsa kita hari ini, mirip seperti kondisi di tahun 1954. Kepemimpinan yang otoriter, pemberangusan suara oposisi, ekonomi yang sulit,  penggunaan alat Negara untuk kepentingan kelompok adalah diantara kesamaan kondisinya. Saat itu, *Mohammad Natsir* melancarkan kritiknya terhadap kondisi bangsa dalam sebuah artikel berjudul, “BELA DASAR DEMOKRASI YANG SEDANG TERANCAM”. Berikut artikel lengkapnya:

BELA DASAR DEMOKRASI YANG SEDANG TERANCAM
Oleh: M. Natsir

Seruan kepada semua Partiot! Asas-asas demokrasi telah ditinggalkan. Kekuatan oposisi hendak dilumpuhkan. Bukan rechtspolitiek tetapi machtspolitiek.
Untuk kesekian kalinya semakin jelas, bahwa pemerintah yang berkuasa sekarang ini, dengan bantuan PKI, telah meninggalkan asas-asas yang dipegang teguh oleh pemerintah yang sudah-sudah, sesuai asas-asas yang terkandung dalam Undang Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Politik di kalangan kepegawaian menunjukan pula suatu tendens yang sangat merugikan negara dan mempertajam pertentangan antara partai-partai pemerintah disatu pihak dan partai-partai oposisi di lain  pihak. Semboyan dalam menempatkan, mengangkat, memindahkan dan melepas pegawai-pegawai bukan lagi: “the right man in the right place” melainkan merupakan pembagian kursi semata-mata diantara orang-orang anggota partai-partai pemerintah.



Keuangan dan perekonomian negara menjadi kucar-kacir karena beleid yang dijalankan pemerintah sekarang bukan diarahkan kepada kepentingan umum  dan kesejahteraan rakyat, tetapi ditujukan kepada kepentingan partai-partai pemerintah dengan pembagian lisensi-lisensi istimewa kepada orang-orang yang sanggup membantu perongkosan partai-partai pemerintah, meskipun mereka sama sekali asing dalam lapangan perdagangan dan perusahaan. Dengan cara yang demikian negara kehilangan beratus-ratus jatu berupa devizen, sedangkan devizen yang amat dibutuhkan buat kelancaran industri di dalam negeri sukar diperoleh, hingga banyak perusahaan-perusahaan terancam penutupan.
Dengan cara-cara yang sangat ondemokratis dan berlawanan dengan Undang Undang Dasar dan apa yang dinamakan Pancasila itu, yang menjamin kebebasan bersuara, sejak semula Pemerintah mencoba utuk memberangus mulut oposisi. Alat-alat penerangan Negara, diantaranya Radio Republik Indonesia dilarang menyiarkan pendapat dan berita dari dan tentang pihak oposisi yang dipandang oleh pihak pemerintah merugikan kedudukannya. Dengan demikian maka alat-alat penerangan negara yang dibiayai oleh pajak seluruh rakyat dijadikan alat pemerintah dan partai pemerintah semata-mata, tidak lagi merupakan suatu aparat yang sanggup memberikan penerangan yang objektif kepada masyarakat. Wartawan-wartawan yang bekerja pada pers yang dipandangnya sebagai pers oposisi dipersulit pekerjaannya dengan sering-sering dipanggil di depan polisi atau jaksa. Polisi diberi instruksi untuk melarang pembicara-pembicara pada rapat-rapat umum membicarakan pemberontakan PKI di Madiun dan dilrang melancarkan kritik terhadap pemerintah.
Sebaliknya partai-partai pemerintah  tidak dihalang-halangi untuk terus menerus memfitnah dan menuduh-nuduh partai oposisi dan pemimpinnya tentang hal-hal yang tidak masuk ke dalam akal orang-orang yang masih waras pikirannya.
Koreksi terhadap tindakan pemerintah yang sewenang-wenang itu, yang oleh pihak oposisi dicoba dijalankan melalui parlemen, senantiasa terbentur pada dan disembelih oleh kelebihan suara partai-partai pemerintah yang tidak mau menguji kebenaran kritik yang dikemukakan oleh pihak oposisi, melainkan hanya ingin membela kepentingan golongan yang sedang berkuasa.
Dalam tindakan-tindakannya pemerintah yang sekarang, nampak jelas satu tendens, yang berbahaya sekali dalam menjalankan kekuasaannya itu. Tendens yang berbahaya itu memuncak dengan dikeluarkannya keputusan Presiden No. 124 tanggal 18 Juni 1954.
Tindakan yang terbaru ini dan mungkin belum merupakan tindakan penghabisan, ialah penambahan jumlah anggota DPRS Kotapraja Jakarta Raya, yang tadinya dibentuk dengan pilihan. Penambahan itu nyata-nyata bermaksud untuk mendudukan kekuasaan pemerintah dalam Dewan Perwakilan itu dengan cara-cara yang menginjak-injak asas-asas demokrasi. Untuk tidak terlalu menyolok mata, maka satu dua kursi diberikan kepada satu dua partai oposisi. Penambahan itu telah ditetapkan dengan putusan Presiden No. 124 tanggal 18 Juni 1954, yang dalam hal ini harus diartikan tindakan-politik dari kabinet.
Selain tidak mempunyai ukuran, pun tindakan tersebut mengherankan, tapi kentara siapa dalangnya sebab belum berapa lama, partai-partai pemerintah yang disokong oleh PKI telah mengadakan demonstrasi menuntut pembubaran DPRS Kotapraja Jakarta Raya itu, karena katanya tidak dipilih oleh rakyat, dan dengan sendirinya tidak mewakili rakyat.
Jika sekiranya pemilihan umum di Jakarta tidak mungkin dijalankan tindakandarurat seperti itu masih dapat dipahamkan. Tetapi justru pada saat ini, sesudah pendaftaran pemilih di Jakarta hampir selesai, maka salah satu persiapan yang penting untuk melaksanakan pemilihan itu, sudah bisa diatasi. Sehingga jika pemerintah sungguh-sungguh ada kemauan untuk mengadakan DPR Jakarta Raya yang baru, yang benar-benar perwakilan rakyat, jalan ke arah itu sudah tidak terlalu panjang lagi. Hanya tinggal “memajukan rancangan undang-undang  tentang pembentukan DPR-DPR Daerah saja lagi, yang sudah dijanjikan oleh pemerintah dalam keterangannya di muka parlemen 8 bulan liwat, dan sesudah itu berkali-kali telah pula dijanjikan dimuka khalayak ramai”. Apalagi parlemen pun tentu akan memberikan prioritas untuk membicarakan rancangan undang-undang mengenai soal itu.
Oleh karena itu, tindakan pemerintah itu hanya dapat diartikan sebagai lanjutan usahanya untuk melumpuhkan dengan cara-cara yang ondemokratis kekuatan oposisi dan potensi yang mempertahankan sendi-sendi demokrasi, yang mungkin pula disusul dengan tindakan-tindakan yang serupa terhadap pemerintahan dan Dewan-Dewan Perwakilan Daerah lainnya, dimana pihak oposisi masih mempunyai pengaruh.
Dari tindakan-tindakan pemerintah dan partai-partai yang mendukungnya, sudah jelas bahwa politik yang mereka jalankan bukanlah suatu rechtspolitiek  yang berdasarkan hukum dan asas-asas demokrasi, melainkan suatu machtspolitiek yang tidak menghiraukan lagi asas-asas susila dan moral dan hanya berdasarkan opportunisme semata-mata.
Kalau pemerintah dan partai-partai yang mendukungnya mengira, bahwa suara dan kekuatan potensi yang mempertahankan demokrasi  akan dapat dihabiskan dengan tindakan-tindakan yang serupa itu, maka perhitungan mereka akan ternyata meleset sama sekali!
Sebagian besar rakyat masih tahu membandingkan antara yang hak dengan yang batil. Terhadap golongan ini Masyumi tidak akan meninggalkan semboyan yang menjadi pedoman perjuangannya: “amar ma’ruf nahi mungar” serta mengajak kepada semua patriot-patriot yang masih mencintai rakyat, negara dan keadilan: “Marilah kita bersama-sama menegakan terus dasar-dasar demokrasi dan membendung banjir yang mengancam dasar negara dari keruntuhannya”.
Sebagai satu partai, yang dalam saat yang bagaimanapun, selalu berusaha mempertahankan negara dari keruntuhannya, maka Masyumi dengan restan-restan hak demokrasi yang masih tinggal akan menentang setiap tindakan pemerintah yang hendak menghancurkan sendi-sendi demokrasi di negeri yang kita tegakan bersama-sama ini.
4 Juli 1954

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENEGUHKAN KEMERDEKAAN DENGAN DA’WAH

  Oleh: Dr. Dwi Budiman Assiroji (Ketua STID Mohammad Natsir)   Tahun ini kita memperingati kemerdekaan negara kita yang ke 79. Artiny...