Kamis, 06 Juli 2017

KETENANGAN DAN KESEIMBANGAN JIWA SEBAGAI BEKAL DA’I (Bagian 2)

Dengan ketenangan dan keseimbangan jiwa, maka akan memunculkan ketabahan hati, keuletan melaksanakan tugas da’wah yang dalam al quran dikenal dengan istilah sabar, tawakkal dan tasamuh. Inilah yang amat diperlukan oleh seorang da’i agar ia dapat menjalankan tugas da’wahnya secara kontinyu, di tengah-tengah cobaan dan rintangan yang akan selalu menghadang.
Mari kita lihat bagaimana Rasulullah Saw. dengan ketenangan dan keseimbangan jiwa yang beliau miliki menghadapi tantangan dan rintangan dalam da’wah beliau.
Satu ketika beliau menda’wahkan ajaran Islam ke daerah Thaif, mengajak penduduk Thaif untuk memeluk tauhid dan meninggalkan kemusyrikan. Reaksi masyarakat Thaif sangat negatif. Mereka melempar Rasulullah Saw. dengan batu hingga kaki beliau yang mulia berdarah-darah.
Namun lihatlah apa yang beliau ucapkan setelah menerima perlakuan buruk itu. Beliau berdoa:

الَّلهُمَّ اهْدِي قَوْمِي فَاِنَّهُمْ لَايَعْلَمُوْن
“Wahai Tuhanku, berilah hidayah kepada kaumku ini, lantaran mereka tidak tahu (apa yang mereka perbuat)”

Reaksi Rasulullah Saw. ini tidak lepas dari keseimbangan dan ketenangan jiwa yang beliau miliki.

Di lain waktu, Rasulullah Saw. mendapatkan ancaman dari orang-orang Kafir Quraisy agar beliau meninggalkan da’wahnya. Ancaman tersebut disampaikan melalui paman beliau, Abu Thalib. Lihatlah apa jawaban beliau terhadap ancaman tersebut, “Wallahi maa taraktuh; Demi Allah, sekali-kali tidak akan aku tinggalkan tugasku ini, sampai perjuangan ini dimenangkan Allah atau aku hancur didalamnya.”
Inilah reaksi yang juga muncul dari keseimbangan dan ketenangan jiwa.
Sementara, ketika peristiwa Fathu Makkah, pembebasan kota Makkah oleh Rasulullah dan 10.000 pasukan kaum muslimin, orang-orang Quraisy datang berduyun-duyun menghadap Rasulullah Saw. Hati mereka berdebar-debar menanti keputusan Rasulullah Saw. atas mereka. Mereka mengira Rasulullah Saw. akan balas dendam atas perlakuan jahat mereka kepada beliau dan kaum muslimin selama ini. Namun ternyata, “Wahai masyarakat Quraisy, tidak ada suatu gugatan pun terhadapmu hari ini. Pergilah kamu semua dalam keadaan bebas,” demikian ujaran Rasulullah Saw. yang muncul dari keseimbangan dan ketenangan jiwa beliau sebagai seorang da’i.
Reaksi yang diberikan Rasulullah Saw. dalam tiga peristiwa di atas, menunjukan keseimbangan dan ketenangan jiwa beliau. Artinya, setiap reaksi yang beliau lakukan, keluar dari pertimbangan demi kemaslahatan da’wah, bukan karena dorongan hawa nafsu, atau sifat egois, penyakit ananiyah.
Ketika beliau dalam posisi lemah, dilempari karena da’wah yang disampaikan, tidak lantas beliau mengutuk kaum yang melemparinya atau bahkan putus asa dari pertolongan Allah Swt. Namun sebaliknya, beliau malah mendoakan kaumnya itu. Karena beliau menyadari bahwa penolakan dan sikap kasar kaumnya itu karena ketidaktahuan mereka. Ego beliau ditekan, yang muncul adalah ketenangan dan keseimbangan jiwa.
Ketika beliau diancam oleh orang-orang Quraisy supaya meninggalakan da’wah, beliau tidak langsung mundur, tapi tetap teguh dalam tugas da’wahnya. Ancaman dibalas dengan keteguhan. Padahal jika ego yang bicara, seorang da’i akan segera meninggalkan kewajiban da’wahnya manakal diri dan jiwanya sudah terancam secara nyata. Keteguhan Rasulullah Saw. ini juga muncul karena ketenangan dan keseimbangan jiwa beliau.
Ketika posisi beliau sudah kuat, pada peristiwa Fathu Makkah, dengan didukung puluhan ribu pasukan, yang beliau lakukan juga bukan didasarkan atas ego diri. Sebab jika ego yang bicara, maka sudah pasti beliau akan melampiaskan dendam kepada orang-orang Quraisy yang sudah melakukan kejahatan terhadap beliau dan kaum muslimin. Semuanya amat mungkin, mereka sudah menyerah, pasukan sudah siap. Namun, karena ketenangan dan keseimbangan jiwa beliau, yang muncul justru adalah sikap memaafkan. Satu sikap yang muncul setelah ego diri ditenggelamkan, dikalahkan dengan kepentingan perkembangan da’wah.
Inilah contoh dari beliau, Rasulullah Saw., ketenangan dan keseimbangan jiwa dalam berda’wah. inilah yang harus dimiliki oleh para da’i sebagai  bekal dalam melaksanakan tugas da’wahnya. Kunci utama untuk mendapatkan ketenangan dan keseimbangan jiwa ini adalah keberhasilan seorang da’i untuk menekan ego dirinya. Sebab tidak mungkin seorang da’i dapat memiliki ketenangan dan keseimbangan jiwa jika ego dirinya, sifat ananiyahnya, masih menguasai jiwa sang da’i.
Sebab sifat egoisme ini, penyakit ananiyah ini, menjadikan kesenangan diri pribadi sebagai pangkal dari setiap perkataan dan tindakan. Setidaknya, penyakit ini dapat merusak niat dari seorang da’i. Beberapa contoh macam dari penyakit ananiyah ini adalah putus asa, sombong, hubbul maal (cinta harta/dunia), hubbul jaah (cinta jabatan/kedudukan), yang kesemuanya itu bermuara pada kepuasan diri pribadi, baik secara fisik maupun batin.
Di bawah kekuasaan ego diri atau ananiyah ini, seorang da’i akan dengan mudah melakukan pantangan-pantangan da’wah; menjual ayat-ayat Allah untuk mendapatkan kesenangan dunia, menjilat penguasa untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan, menjual tampang agar dikenang, menghindari materi an-nahyu ‘anil munkar (melarang dari kemunkaran) karena takut disebut radikal.
Jika sudah demikian, maka seorang da’i akan segera kehilangan harga dirinya, lidahnya kelu, jiwanya kecut. Hilanglah kekuatan da’wah, sirnalah kejayaan Islam. Waiyyadzu billah.


(Refleksi dari Buku Fiqhud Da’wah Bab “Pembinaan Mental” karya Mohammad Natsir)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENEGUHKAN KEMERDEKAAN DENGAN DA’WAH

  Oleh: Dr. Dwi Budiman Assiroji (Ketua STID Mohammad Natsir)   Tahun ini kita memperingati kemerdekaan negara kita yang ke 79. Artiny...