Dengan
ketenangan dan keseimbangan jiwa, maka akan memunculkan ketabahan hati,
keuletan melaksanakan tugas da’wah yang dalam al quran dikenal dengan istilah
sabar, tawakkal dan tasamuh. Inilah yang amat diperlukan oleh seorang da’i agar
ia dapat menjalankan tugas da’wahnya secara kontinyu, di tengah-tengah cobaan
dan rintangan yang akan selalu menghadang.
Mari
kita lihat bagaimana Rasulullah Saw. dengan ketenangan dan keseimbangan jiwa yang
beliau miliki menghadapi tantangan dan rintangan dalam da’wah beliau.
Satu
ketika beliau menda’wahkan ajaran Islam ke daerah Thaif, mengajak penduduk
Thaif untuk memeluk tauhid dan meninggalkan kemusyrikan. Reaksi masyarakat
Thaif sangat negatif. Mereka melempar Rasulullah Saw. dengan batu hingga kaki
beliau yang mulia berdarah-darah.
Namun
lihatlah apa yang beliau ucapkan setelah menerima perlakuan buruk itu. Beliau
berdoa:
الَّلهُمَّ اهْدِي قَوْمِي فَاِنَّهُمْ
لَايَعْلَمُوْن
“Wahai
Tuhanku, berilah hidayah kepada kaumku ini, lantaran mereka tidak tahu (apa
yang mereka perbuat)”
Reaksi
Rasulullah Saw. ini tidak lepas dari keseimbangan dan ketenangan jiwa yang
beliau miliki.
Di
lain waktu, Rasulullah Saw. mendapatkan ancaman dari orang-orang Kafir Quraisy
agar beliau meninggalkan da’wahnya. Ancaman tersebut disampaikan melalui paman
beliau, Abu Thalib. Lihatlah apa jawaban beliau terhadap ancaman tersebut, “Wallahi
maa taraktuh; Demi Allah, sekali-kali tidak akan aku tinggalkan tugasku ini,
sampai perjuangan ini dimenangkan Allah atau aku hancur didalamnya.”
Inilah
reaksi yang juga muncul dari keseimbangan dan ketenangan jiwa.
Sementara,
ketika peristiwa Fathu Makkah, pembebasan kota Makkah oleh Rasulullah dan
10.000 pasukan kaum muslimin, orang-orang Quraisy datang berduyun-duyun
menghadap Rasulullah Saw. Hati mereka berdebar-debar menanti keputusan Rasulullah
Saw. atas mereka. Mereka mengira Rasulullah Saw. akan balas dendam atas
perlakuan jahat mereka kepada beliau dan kaum muslimin selama ini. Namun
ternyata, “Wahai masyarakat Quraisy, tidak ada suatu gugatan pun terhadapmu
hari ini. Pergilah kamu semua dalam keadaan bebas,” demikian ujaran Rasulullah
Saw. yang muncul dari keseimbangan dan ketenangan jiwa beliau sebagai seorang
da’i.
Reaksi
yang diberikan Rasulullah Saw. dalam tiga peristiwa di atas, menunjukan
keseimbangan dan ketenangan jiwa beliau. Artinya, setiap reaksi yang beliau
lakukan, keluar dari pertimbangan demi kemaslahatan da’wah, bukan karena
dorongan hawa nafsu, atau sifat egois, penyakit ananiyah.
Ketika
beliau dalam posisi lemah, dilempari karena da’wah yang disampaikan, tidak
lantas beliau mengutuk kaum yang melemparinya atau bahkan putus asa dari
pertolongan Allah Swt. Namun sebaliknya, beliau malah mendoakan kaumnya itu.
Karena beliau menyadari bahwa penolakan dan sikap kasar kaumnya itu karena
ketidaktahuan mereka. Ego beliau ditekan, yang muncul adalah ketenangan dan
keseimbangan jiwa.
Ketika
beliau diancam oleh orang-orang Quraisy supaya meninggalakan da’wah, beliau
tidak langsung mundur, tapi tetap teguh dalam tugas da’wahnya. Ancaman dibalas
dengan keteguhan. Padahal jika ego yang bicara, seorang da’i akan segera
meninggalkan kewajiban da’wahnya manakal diri dan jiwanya sudah terancam secara
nyata. Keteguhan Rasulullah Saw. ini juga muncul karena ketenangan dan
keseimbangan jiwa beliau.
Ketika
posisi beliau sudah kuat, pada peristiwa Fathu Makkah, dengan didukung puluhan
ribu pasukan, yang beliau lakukan juga bukan didasarkan atas ego diri. Sebab
jika ego yang bicara, maka sudah pasti beliau akan melampiaskan dendam kepada
orang-orang Quraisy yang sudah melakukan kejahatan terhadap beliau dan kaum
muslimin. Semuanya amat mungkin, mereka sudah menyerah, pasukan sudah siap.
Namun, karena ketenangan dan keseimbangan jiwa beliau, yang muncul justru
adalah sikap memaafkan. Satu sikap yang muncul setelah ego diri ditenggelamkan,
dikalahkan dengan kepentingan perkembangan da’wah.
Inilah
contoh dari beliau, Rasulullah Saw., ketenangan dan keseimbangan jiwa dalam
berda’wah. inilah yang harus dimiliki oleh para da’i sebagai bekal dalam melaksanakan tugas da’wahnya.
Kunci utama untuk mendapatkan ketenangan dan keseimbangan jiwa ini adalah
keberhasilan seorang da’i untuk menekan ego dirinya. Sebab tidak mungkin
seorang da’i dapat memiliki ketenangan dan keseimbangan jiwa jika ego dirinya,
sifat ananiyahnya, masih menguasai jiwa sang da’i.
Sebab
sifat egoisme ini, penyakit ananiyah ini, menjadikan kesenangan diri pribadi
sebagai pangkal dari setiap perkataan dan tindakan. Setidaknya, penyakit ini
dapat merusak niat dari seorang da’i. Beberapa contoh macam dari penyakit ananiyah
ini adalah putus asa, sombong, hubbul maal (cinta harta/dunia), hubbul
jaah (cinta jabatan/kedudukan), yang kesemuanya itu bermuara pada kepuasan
diri pribadi, baik secara fisik maupun batin.
Di
bawah kekuasaan ego diri atau ananiyah ini, seorang da’i akan dengan mudah
melakukan pantangan-pantangan da’wah; menjual ayat-ayat Allah untuk mendapatkan
kesenangan dunia, menjilat penguasa untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan,
menjual tampang agar dikenang, menghindari materi an-nahyu ‘anil munkar
(melarang dari kemunkaran) karena takut disebut radikal.
Jika
sudah demikian, maka seorang da’i akan segera kehilangan harga dirinya,
lidahnya kelu, jiwanya kecut. Hilanglah kekuatan da’wah, sirnalah kejayaan
Islam. Waiyyadzu billah.
(Refleksi dari
Buku Fiqhud Da’wah Bab “Pembinaan Mental” karya Mohammad Natsir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar