Oleh: Dwi Budiman Abu Dzakir
Jika kita menelaah sejarah panjang umat Islam, akan kita
dapatkan begitu banyak pahlawan-pahlawan Islam. Mereka adalah tokoh-tokoh Islam
yang layak dijadikan teladan karena keimanan dan pembelaannya terhadap agama
Allah. Salah satu diantara sekian banyak pahlawan Islam itu terdapat nama Sa’ad
bin Abi Waqqash, salah seorang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga dan
bergelar pahlawan Islam. Ia digelari pahlawan Islam karena peristiwa-peristiwa
besar yang dilaluinya, lembaran jihad dan kisah kepahlawanan yang diukirnya
serta ketegaran yang dimilikinya.
Kepahlawanan Sa’ad sudah nampak sejak pertama kali masuk
Islam. Ibunya menentang keras keislamannya hingga melakukan mogok makan, mogok
minum dan mogok bicara sampai pingsan. Namun itu tidak menggentarkan keimananya,
bahan ia berkata kepada ibunya, “Wahai ibu, Demi Allah seandainyapun engkau
memiliki seratus nyawa, dan keluar satu demi satu, aku tetap tidak akan
meninggalkan agamaku ini. Kalau ibu mau makanlah, atau kalau tidak maka janganlah
makan.” Setelah menyaksikan keteguhan anaknya dalam memeluk agama barunya itu
sang ibu kemudian kembali makan, minum dan berbicara seperti sedia kala.
Kepahlawanan Sa’ad juga terlihat dari kedudukannya sebagai
orang pertama yang menumpahkan darah di jalan Allah. Peristiwanya terjadi di
masa-masa awal Islam. Saat itu orang-orang musyrik Makkah mengejek Islam dan
kaum muslimin, maka Sa’ad mengambil tulang rusuk unta dan memukul salah seorang
dari mereka hingga berdarah.
Sa’ad juga dikenal sebagai orang pertama yang memanah di
jalan Allah. Pada tahun pertama hijrah, Rasulullah mengutus sepasukan kaum
muslimin dibawah pimpinan Ubaidah bin al-Harits berjumlah 60 orang, Sa’ad termasuk di dalamnya. Misi mereka
adalah mengamati serombongan kafilah Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan. Namun
pertempuran tak terelakan karena kafilah Quraisy itu menyerang pasukan kaum
muslimin, dan Sa’ad menyambut serangan itu dengan panahnya, “Aku adalah orang
Arab pertama yang melepasan anak panah di jalan Allah,” ujarnya dengan bangga.
Kepahlawanan Sa’ad yang paling nyata tentulah karena
keberanian dan pengorbananya di setiap peperangan yang diikutinya. Dalam perang
Badar Sa’ad memilih berjalan kaki baik ketika berangkat dari Madinah menuju
Badar maupun sebaliknya. Pilihan Sa’ad ini dikarenakan saat itu kaum muslimin
hanya memilik sedikit tunggangan. Padahal jarak Madinah dan Badar adalah 150
KM.
Pada perang Uhud, ketika pasukan kaum muslimin lari
kocar-kacir, Sa’ad tetap menjaga Rasulullah dengan beberapa orang sahabat
lainnya. Ia terus melepaskan anak panahnya membunuh pasukan kafir Quraisy.
Setiap kali melepaskan anak panahnya Sa’ad berdo’a:”Ya Allah inilah panahmua,
maka lesakanlah kepada musuhmu”, mendengar do’a Sa’ad itu Rasulullah saw. memberinya
semangat: ”Ya Alah kabulkanlah untuk Sa’ad, Ya Allah tepatkanlah bidikannya, Panahlah,
hai Sa’ad! Panahlah …! Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu”. Sa’ad sangat bangga
dengan ucapan Rasulullah ini.
Pada pertempuran ini Ummu Aiman ikut serta untuk memberi
minum kepada pasukan yang terluka. Tiba-tiba seorang kafir melemparnya dengan
anak panah, hingga dia pun terjatuh dan auratnya terbuka, orang kafir itu pun
tertawa. Melihat itu, Rasulullah segera mengambil anak panah dan menyerahannya
kepada Sa’ad, lalu beliau bersabda, “Wahai Sa’ad, lemparkanlah anak panah ini,
Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.”
Sa’ad pun melepaskan anak panah dan tepat mengenai leher
orang kafir itu, hingga ia pun tewas seketika. Melihat itu, Rasulullah tertawa,
lalu bersabda, “Sa’ad telah melakukan pembalasan untuk Ummu Aiman, semoga Allah
mengabulkan doanya.” Sejak saat itu yang menjadi senjata Sa’ad dalam setiap
peperangannyaa adalah “anak panah yang diberkahi” dan “doa yang dikabulkan.”
Pada perang Hunain kepalawanan Sa’ad kembali terlihat.
Murawwih, seorang tentara musuh, naik ke atas benteng kemudian ia mencaci maki
Rasulullah dan para sahabatnya. Segera Sa’ad menyiapkan anak panahnya dan
membunuhnya dengan sekali panah. Murawwih pun jatuh dan langsung meninggal.
Puncak kepahlawanan Sa’ad terlihat nyata pada perang
Qadisiyah, dimana ia menjadi komandan perangnya dan memimpin pasukan sebanyak
33.000 orang. Pada peperangan di zaman Khalifah Umar Bin Khattab itu kaum
muslimin menghadapi pasukan Parsi dibawah pimpinan Rustum dengan jumlah pasukan
sebanyak 120.000 orang.
Sebelum peperangan terjadi Rustum mengajak Sa’ad untuk
berunding, maka Sa’ad mengutus beberapa orang sahabatnya untuk berunding. Namun
karena keangkuhan Rustum perundingan itu tidak menghasilkan apa-apa. Salah
seorang delegasi kaum muslimin kemudian berkata, “Sesungguhnya Allah telah
memilih kami untuk membebaskan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dari
pemujaan berhala kepada pengabdian terhadap Allah Swt., dari kesempitan dunia
kepada keluasannya, dan dari kedhaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam.
Maka siapa yang bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya
dan kami biarkan mereka. Tetapi siapa yang memerangi kami, kami perangi pula
mereka hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan Allah”. “Apa yang telah
dijanjikan Allah itu?” tanya Rustum. “Surga bagi kami yang mati syahid, dan
kemenangan bagi yang masih hidup,” jawab utusan tersebut. Mendengar jawaban itu
Rustum malah memutuskan mengangkat senjata untuk berperang dengan pasukan kau
muslimin.
Ketika pertempuran akan berlangsung, Sa’ad terkena penyakit
Irqun Nasa, semacam penyakit rematik dan benjolan serta bisul di sekujur tubuh.
Namun penyakit itu tidak menyurutkan langkahnya, ia tetap memimpin pasukan dari
atas tempat tidur sambil berbaring karena rasa sakit yang luar biasa. Ia
mengobarkan semangat pasukannya dengan khotbah-khotbahnya yang penuh semangat.
Salah satu khotbahnya adalah:
“Sesungguhnya Alah adalah hak, tiada sekutu bagiNya dalam
kekuasaanNya, dan tiada yang bisa membantah firmanNya. Allah telah berfirman:”Dan
sungguh telah kami tulis di dalam Zabur setelah tertulis di dalam Adz-Dzikr
(Lauh Mahfudz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hambaKu yang shaleh.”
Sesungguhnya ini adalah warisan yang dijanjikan oleh Tuhan kalian ia telah
menghalalkannya sejak tiga tahun yang lalu.”
Pertempuran Qadisiyah berlangsung selama empat hari tiga
malam dengan amat dahsyat. Pertempuran ini berakhir setelah kaum muslimin
berhasil membunuh Rustum. Korban dari pihak musuh berjumlah 50.000 orang
sementara dari pasukan muslim sebanyak 8.000 syuhada. Kemenangan besar itu
segera disampaikan Sa’ad kepada Khalifah Umar bin Khattab. Kaum muslimin pun
bersuka cita atas kemenangan ini.
Selanjutnya Sa’ad memimpin pasukan untuk menaklukan ibu kota
Persia, Mada’in. Dua bulan lamanya pasukan kaum muslimin mengepung kota itu
sebelum kemudian pasukan Parsi menyerah. Maka penaklukan Parsi pun menjadi
sempurna. Setelah itu Sa’ad diangkat oleh Khalifah Umar menjadi Gubernur Kufah.
Amanah itu ia emban hingga masa Khalifah Utsman bin Affan.
Ketika sedang sakaratul maut, Sa’ad berwasiat agar ketika
meninggal nanti ia dikafani dengan kain yang dipakainya saat bertempur di
perang Badar. Ia wafat pada tahun 55 H di usia 80 tahun di rumahnya yang
terletak di pinggiran kota Madinah. Sa’ad merupakan sahabat muhajirin terakhir
yang meninggal dunia dengan meninggalkan teladan kepahlawanan yang amat
mengagumkan.
Itulah gambaran kepahlawanan Sa’ad bin Abi Waqqash yang
penuh dengan keberanian dan pengorbanan. Semoga kaum muslimin saat ini mampu
meneladani kepahlawanan Sa’ad hingga dapat memenangkan Islam atas
musuh-musuhnya sebagaimaan Sa’ad memenangkan Islam atas Persia. Amin
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Hidayatullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar