Minggu, 15 Oktober 2017

MENELADANI KEPAHLAWANAN SA’AD BIN ABI WAQQASH

Oleh: Dwi Budiman Abu Dzakir

Jika kita menelaah sejarah panjang umat Islam, akan kita dapatkan begitu banyak pahlawan-pahlawan Islam. Mereka adalah tokoh-tokoh Islam yang layak dijadikan teladan karena keimanan dan pembelaannya terhadap agama Allah. Salah satu diantara sekian banyak pahlawan Islam itu terdapat nama Sa’ad bin Abi Waqqash, salah seorang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga dan bergelar pahlawan Islam. Ia digelari pahlawan Islam karena peristiwa-peristiwa besar yang dilaluinya, lembaran jihad dan kisah kepahlawanan yang diukirnya serta ketegaran yang dimilikinya.
Kepahlawanan Sa’ad sudah nampak sejak pertama kali masuk Islam. Ibunya menentang keras keislamannya hingga melakukan mogok makan, mogok minum dan mogok bicara sampai pingsan. Namun itu tidak menggentarkan keimananya, bahan ia berkata kepada ibunya, “Wahai ibu, Demi Allah seandainyapun engkau memiliki seratus nyawa, dan keluar satu demi satu, aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku ini. Kalau ibu mau makanlah, atau kalau tidak maka janganlah makan.” Setelah menyaksikan keteguhan anaknya dalam memeluk agama barunya itu sang ibu kemudian kembali makan, minum dan berbicara seperti sedia kala.
Kepahlawanan Sa’ad juga terlihat dari kedudukannya sebagai orang pertama yang menumpahkan darah di jalan Allah. Peristiwanya terjadi di masa-masa awal Islam. Saat itu orang-orang musyrik Makkah mengejek Islam dan kaum muslimin, maka Sa’ad mengambil tulang rusuk unta dan memukul salah seorang dari mereka hingga berdarah.
Sa’ad juga dikenal sebagai orang pertama yang memanah di jalan Allah. Pada tahun pertama hijrah, Rasulullah mengutus sepasukan kaum muslimin dibawah pimpinan Ubaidah bin al-Harits berjumlah 60 orang,  Sa’ad termasuk di dalamnya. Misi mereka adalah mengamati serombongan kafilah Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan. Namun pertempuran tak terelakan karena kafilah Quraisy itu menyerang pasukan kaum muslimin, dan Sa’ad menyambut serangan itu dengan panahnya, “Aku adalah orang Arab pertama yang melepasan anak panah di jalan Allah,” ujarnya dengan bangga.


Kepahlawanan Sa’ad yang paling nyata tentulah karena keberanian dan pengorbananya di setiap peperangan yang diikutinya. Dalam perang Badar Sa’ad memilih berjalan kaki baik ketika berangkat dari Madinah menuju Badar maupun sebaliknya. Pilihan Sa’ad ini dikarenakan saat itu kaum muslimin hanya memilik sedikit tunggangan. Padahal jarak Madinah dan Badar adalah 150 KM.
Pada perang Uhud, ketika pasukan kaum muslimin lari kocar-kacir, Sa’ad tetap menjaga Rasulullah dengan beberapa orang sahabat lainnya. Ia terus melepaskan anak panahnya membunuh pasukan kafir Quraisy. Setiap kali melepaskan anak panahnya Sa’ad berdo’a:”Ya Allah inilah panahmua, maka lesakanlah kepada musuhmu”, mendengar do’a Sa’ad itu Rasulullah saw. memberinya semangat: ”Ya Alah kabulkanlah untuk Sa’ad, Ya Allah tepatkanlah bidikannya, Panahlah, hai Sa’ad! Panahlah …! Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu”. Sa’ad sangat bangga dengan ucapan Rasulullah ini.
Pada pertempuran ini Ummu Aiman ikut serta untuk memberi minum kepada pasukan yang terluka. Tiba-tiba seorang kafir melemparnya dengan anak panah, hingga dia pun terjatuh dan auratnya terbuka, orang kafir itu pun tertawa. Melihat itu, Rasulullah segera mengambil anak panah dan menyerahannya kepada Sa’ad, lalu beliau bersabda, “Wahai Sa’ad, lemparkanlah anak panah ini, Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.”
Sa’ad pun melepaskan anak panah dan tepat mengenai leher orang kafir itu, hingga ia pun tewas seketika. Melihat itu, Rasulullah tertawa, lalu bersabda, “Sa’ad telah melakukan pembalasan untuk Ummu Aiman, semoga Allah mengabulkan doanya.” Sejak saat itu yang menjadi senjata Sa’ad dalam setiap peperangannyaa adalah “anak panah yang diberkahi” dan “doa yang dikabulkan.”
Pada perang Hunain kepalawanan Sa’ad kembali terlihat. Murawwih, seorang tentara musuh, naik ke atas benteng kemudian ia mencaci maki Rasulullah dan para sahabatnya. Segera Sa’ad menyiapkan anak panahnya dan membunuhnya dengan sekali panah. Murawwih pun jatuh dan langsung meninggal.
Puncak kepahlawanan Sa’ad terlihat nyata pada perang Qadisiyah, dimana ia menjadi komandan perangnya dan memimpin pasukan sebanyak 33.000 orang. Pada peperangan di zaman Khalifah Umar Bin Khattab itu kaum muslimin menghadapi pasukan Parsi dibawah pimpinan Rustum dengan jumlah pasukan sebanyak 120.000 orang.
Sebelum peperangan terjadi Rustum mengajak Sa’ad untuk berunding, maka Sa’ad mengutus beberapa orang sahabatnya untuk berunding. Namun karena keangkuhan Rustum perundingan itu tidak menghasilkan apa-apa. Salah seorang delegasi kaum muslimin kemudian berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebaskan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dari pemujaan berhala kepada pengabdian terhadap Allah Swt., dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dan dari kedhaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam. Maka siapa yang bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya dan kami biarkan mereka. Tetapi siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan Allah”. “Apa yang telah dijanjikan Allah itu?” tanya Rustum. “Surga bagi kami yang mati syahid, dan kemenangan bagi yang masih hidup,” jawab utusan tersebut. Mendengar jawaban itu Rustum malah memutuskan mengangkat senjata untuk berperang dengan pasukan kau muslimin.
Ketika pertempuran akan berlangsung, Sa’ad terkena penyakit Irqun Nasa, semacam penyakit rematik dan benjolan serta bisul di sekujur tubuh. Namun penyakit itu tidak menyurutkan langkahnya, ia tetap memimpin pasukan dari atas tempat tidur sambil berbaring karena rasa sakit yang luar biasa. Ia mengobarkan semangat pasukannya dengan khotbah-khotbahnya yang penuh semangat. Salah satu khotbahnya adalah:
“Sesungguhnya Alah adalah hak, tiada sekutu bagiNya dalam kekuasaanNya, dan tiada yang bisa membantah firmanNya. Allah telah berfirman:”Dan sungguh telah kami tulis di dalam Zabur setelah tertulis di dalam Adz-Dzikr (Lauh Mahfudz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hambaKu yang shaleh.” Sesungguhnya ini adalah warisan yang dijanjikan oleh Tuhan kalian ia telah menghalalkannya sejak tiga tahun yang lalu.”
Pertempuran Qadisiyah berlangsung selama empat hari tiga malam dengan amat dahsyat. Pertempuran ini berakhir setelah kaum muslimin berhasil membunuh Rustum. Korban dari pihak musuh berjumlah 50.000 orang sementara dari pasukan muslim sebanyak 8.000 syuhada. Kemenangan besar itu segera disampaikan Sa’ad kepada Khalifah Umar bin Khattab. Kaum muslimin pun bersuka cita atas kemenangan ini.
Selanjutnya Sa’ad memimpin pasukan untuk menaklukan ibu kota Persia, Mada’in. Dua bulan lamanya pasukan kaum muslimin mengepung kota itu sebelum kemudian pasukan Parsi menyerah. Maka penaklukan Parsi pun menjadi sempurna. Setelah itu Sa’ad diangkat oleh Khalifah Umar menjadi Gubernur Kufah. Amanah itu ia emban hingga masa Khalifah Utsman bin Affan. 
Ketika sedang sakaratul maut, Sa’ad berwasiat agar ketika meninggal nanti ia dikafani dengan kain yang dipakainya saat bertempur di perang Badar. Ia wafat pada tahun 55 H di usia 80 tahun di rumahnya yang terletak di pinggiran kota Madinah. Sa’ad merupakan sahabat muhajirin terakhir yang meninggal dunia dengan meninggalkan teladan kepahlawanan yang amat mengagumkan.
Itulah gambaran kepahlawanan Sa’ad bin Abi Waqqash yang penuh dengan keberanian dan pengorbanan. Semoga kaum muslimin saat ini mampu meneladani kepahlawanan Sa’ad hingga dapat memenangkan Islam atas musuh-musuhnya sebagaimaan Sa’ad memenangkan Islam atas Persia. Amin

(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Hidayatullah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENEGUHKAN KEMERDEKAAN DENGAN DA’WAH

  Oleh: Dr. Dwi Budiman Assiroji (Ketua STID Mohammad Natsir)   Tahun ini kita memperingati kemerdekaan negara kita yang ke 79. Artiny...