Senin, 14 Maret 2022

Tiga Catatan dari Buku Pesan Perjuangan Seorang Bapak

 


Sore ini saya diminta oleh Ustadz Muhammad Hanif, salah seorang peserta Kaderisasi Ulama Dewan Da'wah, untuk memberikan keynote speech dalam acara Literasi Peradaban Islam dengan membedah buku Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Buku ini adalah hasil wawancara lima generasi muda saat itu, tahun 1986-1987, kepada Mohammad Natsir.


Maka dalam keynote speech saya sampaikan ada tiga catatan penting yang dapat diambil dari buku ini. Ketiga catatan itu adalah:


Pertama, proses penyusunan buku ini mencerminkan perhatian besar Pak Natsir kepada generasi muda. 

Pak Natsir lahir tahun 1908, sementara kelima pewawancara beliau lahir antara tahun 1938-1948. Endang S. Anshori (1938), Kuntowijoyo dan Yahya Muhaimin (1943), Amien Rais (1944), A Watik Pratiknya (1948).

Artinya perbedaan usia Pak Natsir dengan para pewawancaranya itu antara 30-40 tahun. Seusia anak-anak kandung Pak Natsir.

Namun demikian Pak Natsir bersedia menyediakan waktunya berkali-kali untuk diwawancarai mereka. Bahkan putri Pak Natsir, Ibu Aisjah Natsir, pernah menjelaskan bahwa satu kali ketika Pak Natsir sedang diwawancarai di rumah beliau, proses wawancara selalu terputus karena datangnya tamu lain. Maka kemudian tempat wawancara Pak Natsir pindahkan ke satu rumah makan agar bisa berjalan lancar.

Perhatian Pak Natsir kepada para pewawancaranya, generasi muda itu, kemudian terbukti membuahkan hasil yang luar biasa. Dimana kelima anak muda itu di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh umat Islam yang melanjutkan perjuangan Pak Natsir. Tentu sesuai dengan posisi dan kecenderungannya masing-masing.


Kedua, buku ini memperlihatkan spektrum pemikiran Pak Natsir yang sangat luas. Dari mulai pemikiran da'wah, pendidikan, politik, sosial, bahkan sampai kajian dunia internasional.

Artinya, seorang ulama, tidak seharusnya membatasi keilmuannya hanya pada satu atau dua area saja. Atau apa yang hari ini diistilahkan dengan linieritas keilmuan. Namun seorang ulama harus terus mengembangkan ilmunya semaksimal yang dia mampu.

Hal ini juga menggambarkan kuatnya kemampuan belajar otodidak Pak Natsir. Satu kemampuan yang mutlak harus dimiliki oleh seorang da'i dan ulama.


Ketiga, isi buku ini adalah warisan yang sangat berharga dari seorang Mohammad Natsir. Maka tugas para pelanjutnya, tugas para kadernya, adalah mengkaji buku ini, kemudian memformulasikan ulang sesuai dengan kondisi hari ini. Sehingga formulasi itu dapat lebih mudah diterapkan atau diimplementasikan dalam perjuangan da'wah hari ini.

Sehingga warisan Pak Natsir ini tidak hanya menjadi peninggalan sejarah, tapi juga menjadi panduan yang dapat kita gunakan dalam perjuangan da'wah kita hari ini. 


Demikian tiga catatan dari buku Pesan Perjuangan Seorang Bapak ini.

(Dwi Budiman Assiroji/ Ketua STID Mohammad Natsir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENEGUHKAN KEMERDEKAAN DENGAN DA’WAH

  Oleh: Dr. Dwi Budiman Assiroji (Ketua STID Mohammad Natsir)   Tahun ini kita memperingati kemerdekaan negara kita yang ke 79. Artiny...