Oleh: Dr. Dwi Budiman Assiroji
(Ketua STID
Mohammad Natsir)
Tahun ini
kita memperingati kemerdekaan negara kita yang ke 79. Artinya sudah 79 tahun
negeri ini merdeka dari penjajahan bangsa lain. Seharusnya semakin lama kita
merdeka semakin sejahtera bangsa kita. Sebagaimana yang tercantum dalam
pembukaan UUD 45 bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia diharapkan dapat membentuk
suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Namun kenyataannya,
masih banyak masyarakat kita yang sampai saat ini belum sejahtera.
Kenyataan
tersebut tentu disebabkan oleh banyak hal. Salah satu yang paling krusial
adalah karena banyaknya masyarakat kita, termasuk para pejabatnya, yang terkena
penyakit cinta dunia (hubbud-dunyâ) sehingga sibuk mencari kesenangan dunia dan
tidak bersedia berkorban untuk kepentingan bangsa dan masyarakat kebanyakan.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Mohammad Natsir, dalam tulisannya menyambut
peringatan kemerdekaan RI tahun 1951, menjelaskan bahwa sekalipun Indonesia
sudah merdeka 6 tahun, namun masyarakat kebanyakan belum mendapatkan
kebahagiaan, “Seolah-olah ni’mat kemerdekaan yang telah dimilikinya ini,
sedikit sekali faedahnya,” tulis Natsir. Semua itu disebabkan karena
munculnya sifat bakhil, Natsir menjelaskan, “Sekarang telah timbul penyakit bakhil.
Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang
bekerja tidak sepenuh hati lagi.”
Apa yang
disinyalir Natsir 70 tahun lalu ternyata masih terus berlangsung hingga kini.
Bahkan cenderung semakin bertambah. Banyak pejabat yang karena sifat serakahnya
menyebabkan ia melakukan praktek korupsi. Korupsi inilah yang menjadikan
masyarakat tidak sejahtera karena dana yang seharusnya digunakan untuk
kesejahteraan mereka, dikorupsi oleh para pejabat serakah itu. Lihatlah data
beberapa tahun belakangan. Sebagaimana yang diberitakan banyak media online, BPK mensinyalir,
kerugian Negara akibat kasus korupsi Asabri mencapai angka Rp. 22,7 Triliun. Adapun
kerugian Negara dalam kasus korupsi Jiwasraya ditaksir sebesar 16,8 triliun. Sementara
dana bantuan sosial untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19 yang dikorupsi
Menteri Sosial Juliari P. Batubara sebesar Rp. 5,9 triliun. Tiga kasus ini
cukup memberikan gambaran kepada kita, betapa akutnya permasalahan korupsi di
negeri ini.
Kondisi
masyarakat bawah juga tak kalah rusaknya. Penyakit cinta dunia yang menimbulkan
keserakahan, membuat masyarakat kita menjadi masyarakat yang senantiasa
berorientasi kepada harta dan kesenangan dunia. Segala cara dilakukan demi
mendapatkan harta dan kesenangan dunia itu. Tidak peduli halal dan haram. Riba
menjadi salah satu jalan yang banyak dimanfaatkan masyarakat untuk mendapatkan
harta dengan cepat. Maka menjamurlah pinjaman online, lintah darat
berkedok tehnologi yang sudah memakan banyak korban. Walaupun pada akhirnya
banyak yang menderita karena terjerat hutang berbunga tinggi dari pinjaman online
ini, namun masih banyak masyarakat yang terjerumus ke dalamnya.
Penyakit
serakah dan cinta dunia yang menjangkit para pejabat dan masyarakat bawah ini,
secara lahir jelas-jelas menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan. Secara
bathin juga menjauhkan negeri ini dari keberkahan Allah Ta’ala.
Untuk
menghadapi kondisi seperti itu, diperlukan usaha keras dari berbagai elemen
bangsa agar terjadi proses perbaikan yang akan menjadikan masyarakat kita
sejahtera, lahir dan batin.
Salah satu
usaha terpenting yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut adalah
gerakan da’wah. Gerakan perbaikan yang merupakan kelanjutan dari gerakan
risalah para nabi dan rasul ini, sepanjang sejarah sudah terbukti berhasil
melakukan perbaikan terhadap kondisi masyarakat yang sudah bobrok sekalipun.
Firman Allah Ta’ala menjelaskan:
قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ
أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ
وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٠٨
“Katakanlah:
"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik." (Yusuf: 108)
Agar
efektif, usaha da’wah ini harus diawali dengan menanamkan keimanan dalam diri
masyarakat muslim, sehingga tumbuh keyakinan terhadap Kemahaesaan Allah. Inilah
yang dilakukan para nabi dan rasul dahulu. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ
ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنۡهُم
مَّنۡ حَقَّتۡ عَلَيۡهِ ٱلضَّلَٰلَةُۚ فَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ
كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ ٣٦
“Dan
sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara
umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu
dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)
Iman kepada
Allah Ta’ala adalah pondasi untuk membangun kebaikan lainnya. ketika
iman sudah kokoh, maka kebaikan apapun yang dibangun di atasnya akan berdiri
kokoh. Sebaliknya, sebagus apapun kebaikan yang didirikan, jika tidak dibangun
di atas keimanan yang kokoh, maka bangunan kebaikan itu akan keropos dan mudah
roboh.
Menanamkan
keimanan agar tumbuh keyakinan terhadap Kemahaesaan Allah Ta’ala adalah
juga usaha yang berkesesuaian dengan sila pertama dari Pancasila, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setelah
keimanan itu tertanam dalam hati masyarakat muslim, da’wah harus terus bergerak
untuk senantiasa mengajak masyarakat berbuat kebaikan dan mencegah mereka dari
berbuat kemunkaran (al-amru bil ma’rûf wan-nahyu ‘anil munkar).
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلۡتَكُن
مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Gerakan da’wah dalam pengertian al-amru bil ma’rûf wan-nahyu ‘anil munkar, akan
mendatangkan dua keuntungan. Pertama, menjaga stabilitas masyarakat agar
tetap aman dan tentram. Karena akan terbentuk masyarakat yang senantiasa
berbuat kebaikan, tidak ada yang berbuat kejahatan, termasuk kejahatan korupsi
dan praktek ribawi. Kedua, mendatangkan keberuntungan sebagai janji dari
Allah Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kondisi ini pada
akhirnya akan mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab, sesuai dengan sila
kedua dari Pancasila.
Selanjutnya,
gerakan da’wah itu harus terus dilakukan dengan penuh kesabaran. Sebab da’wah
adalah jalan panjang yang pasti penuh halangan dan rintangan. Seperti jalan
risalahnya para nabi dan rasul yang juga penuh halangan dan rintangan.
Sebagaimana yang Allah Ta’ala gambarkan:
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ يُوحِي
بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ مَا
فَعَلُوهُۖ فَذَرۡهُمۡ وَمَا يَفۡتَرُونَ ١١٢
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian
mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka
tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka
ada-adakan.” (Al-An’am: 112)
Ini terbukti di negeri kita, selama 79 tahun
gerakan da’wah terus berusaha melakukan proses perbaikan di tengah-tengah
masyarakat, walapun halangan dan rintangan selalu menghadang, di berbagai
zaman; Orde Lama, Orde Baru dan kini Orde Reformasi yang sedang dikorupsi.
Usaha da’wah yang tak kenal lelah ini, bertujuan untuk mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana sila kelima dari Pancasila.
Maka inilah
kewajiban kita untuk meneguhkan kemerdekaan republik Indonesia, terus
mengobarkan gerakan da’wah demi terciptanya kesejahteraan umat dan bangsa.
Jakarta, 17
Agustus 2024